BBI · love love love · tears

The Notebook – Nicholas Sparks

“I am nothing special, of this I am sure. I am a common man with common thoughts and I’ve led a common life. There are no monuments dedicated to me and my name will soon be forgotten, but I’ve loved another with all my heart and soul, and to me, this has always been enough..”

Terima kasih kepada Nicholas Sparks yang berhasil menghidupkan karakter Noah Calhoun, pemuda 31 tahun. Noah yang membuat saya percaya dengan yang namanya keajaiban cinta. Hati saya seakan dihangatkan, dada saya terasa sesak setelah membaca buku The Notebook yang berhasil saya tuntaskan dalam sehari. Tak lupa juga, beberapa helai tissue untuk mengusap air mata saya yang jatuh tak henti di akhir kisah. Mungkin lebay, mungkin drama queen, tapi bagi yang hendak mengingat lagi betapa dahsyat arti kata ‘cinta’, sisihkan waktu anda sejenak untuk membaca novel pertama karya Nicholas Sparks.

The Notebook dibuka dengan Miracles.

Who am I? And how, I wonder, will this story end?

Penasaran? Yuk lanjut, bergulirlah kisah seorang laki-laki tua di rumah sakit. Laki-laki itu tak henti memandang seorang perempuan yang tersenyum kepadanya. Mulailah laki-laki membaca sebuah buku yang akan menjadi kisah di bab selanjutnya. Bab 1 ditutup dengan paragraf yang menurut saya kalimat-kalimatnya sangat indah: I realize the odds, and science, are against me. But science is not the total answer, this I know, this I have learned in my lifetime. And that leaves me with the belief of miracles, no matter how inexplicable or unbeliavable, are real and can occur without regard to the natural order of things. So once again, just as i do every day, I begin to read the notebook aloud, so that she can hear it, in the hope that the miracle that has come to dominate my life will once again prevail. And maybe, just maybe, it will.

True love
True love

Bab kedua dimulai dengan alur flashback, kita diajak untuk mengenal tokoh utama lebih jauh, Noah Calhoun, lelaki biasa-biasa saja yang gemar membaca puisi. Musim panas tahun 1946, ia jatuh cinta. Adalah Allison Nelson atau yang biasa dipanggil Allie merebut hatinya sejak pandangan pertama. Gayung bersambut dan semenjak mereka berkencan di mana ada Allie di sana Noah berada. Sayangnya Noah bukan laki-laki yang kalau Syahrini bilang ‘sesuatu banget’, uangnya pas-pasan dan status sosial ekonomi Noah bisa dibilang ‘jomplang’ kalau dibanding keluarga Allie. 3 minggu saja kisah cinta mereka bertahan, Allie kembali ke kota dengan membawa separuh hati Noah.

Puluhan surat tak berbalas dari Allie, perang dunia kedua usai, tahun berlalu, tetap Noah tidak mampu melupakan Allie. Dan di suatu sore, Allie, hantu masa lalunya datang ke hadapan Noah memberi kabar bahwa 3 minggu lagi ia akan menikah.

Klise banget ya? Status  sosial, percintaan musim panas, cinta ala Romeo – Juliet. Jangan salah, di tangan maestro buku romance kisah klise biasa bisa menjadi tidak biasa. Nicholas Sparks berhasil mengembangkan karakter buku The Notebook dengan sempurna, tidak hanya itu ia berhasil meyakinkan saya cinta mampu bertahan di antara semua halangan dan rintangan. Ingin bacaan ringan tapi berbobot? Ingin kembali merasakan hangatnya hati saat pijaran cinta membara? *apaan sih Mi, jayus :D* Coba deh baca The Notebook, jangan lupa sediakan tissue saat membaca. *wink*

Curhat sedikit ya, saya hampir selalu merasakan kedekatan emosional mendalam dengan tokoh ciptaan Nicholas Sparks. Terlebih lagi Noah dan Callie, mereka berdua seakan mengingatkan saya akan betapa indahnya perasaan dicinta dan mencinta.

“So it’s not gonna be easy. It’s going to be really hard; we’re gonna have to work at this everyday, but I want to do that because I want you. I want all of you, forever, everyday. You and me… everyday.”

“I love you. I am who I am because of you. You are every reason, every hope, and every dream I’ve ever had, and no matter what happens to us in the future, everyday we are together is the greatest day of my life. I will always be yours. ”

Aaaaak, meleleh ga sih?

Dan ending kisah ini, haaaauuuh, gimana caranya saya bercerita tanpa menebar spoiler? Satu saja yang saya sayangkan, saya menonton film ini jauh lebih dulu ketimbang membaca bukunya. Jadi bagi yang belum menonton maupun membaca The Notebook saya sarankan anda baca bukunya saja dulu dan nikmati karya luar biasa seorang Nicholas Sparks.

The Notebook diadaptasi ke layar lebar tahun 2004, Ryan Gosling berperan sebagai Noah dan Rachel McAdams sebagai Allie, cocok 🙂

The Notebook
The Notebook

Detail buku : The Notebook – Nicholas Sparks,, Vision Hachette Book, 2004, 213 pages.

Trailer The Notebook, ah melihat trailernya saja hati saya berdesir miris :((

adventure · buntelan · fantasy

Emerald Atlas, The Books of Beginning #1

Sinopsis : Kate, Michael, dan Emma sudah berulang kali berpindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain, dan yang berikutnya selalu lebih buruk dari pada sebelumnya. Tapi Kate tidak pernah melupakan janjinya pada sang ibu, untuk selalu menjaga adik-adiknya. 

Kate tidak pernah bisa mengingat jelas kenangan tentang kedua orangtuanya, tapi dia tahu pasti, ibunya berjanji keluarga mereka akan berkumpul lagi suatu hari nanti. Michael selalu percaya pada hal-hal mistis yang membuatnya mendapat masalah dan dijadikan bulan-bulanan di panti asuhan. Emma bertempramen sangat buruk dan mudah sekali meledak. 

Namun ketiga bersaudara ini tetap bertahan bersama-sama, sampai akhirnya nasib membawa mereka ke dalam petualangan seru, menyingkap garis takdir mereka yang luar biasa. 

Segera saja mereka terhanyut dalam perjalanan ajaib ke sudut-sudut dunia yang penuh rahasia dan berbahaya… Perjalanan yang mempertemukan Kate, Michael, dan Emma dengan sahabat-sahabat dan musuh-musuh. Dan menurut sebuah ramalan kuno petualangan mereka akan mengubah sejarah… Dan nasib banyak orang… 

Akankah mereka menemukan rahasia identitas keluarga mereka dan berkumpul kembali dengan orangtua mereka?

Emerald Atlas
Emerald Atlas

Review :

Apa yang terbayang saat membaca sinopsis di atas?  Narnia? Lemony Snickett’s? Atau malah Golden Compass? Kalau saya perpaduan dari ketiganya, anak ‘yatim piatu’ terjebak dalam dunia lain dan mengemban misi menyelamatkan dunia. Dunia Kate, Michael dan Emma berubah dalam sekejap saat malam natal, ayah ibunya menghilang dan mereka terbangun dalam sebuah panti asuhan. Dari panti asuhan satu ke yang lain, nasib mereka bertiga tidak jelas plus ayah ibu tidak jelas keberadaannya bahkan nama keluarga mereka juga misterius “P”saja.

Kate masih beruntung, ia masih bisa mengingat orang tuanya dan pesan ibunya yang mengatakan bahwa mereka pasti kembali. Michael, laki-laki kurus berkacamata dan sangat mengidolakan kurcaci. Emma, si bungsu paling jago berkelahi.

Suatu ketika Kate, Michael dan Emma berpindah ke panti asuhan Cambridge Falls yang misterius. Suatu tempat yang terlupakan dan banyak kejanggalan aneh yang mereka rasakan. Siapakah laki-laki yang mengadopsi mereka? Terlebih lagi sejak mereka menemukan sebuah buku hijau yang akan memutarbalikkan nasib mereka. Kurcaci, time travel, penyihir, adalah sebagian dari hal menarik yang ditemukan di buku Emerald Atlas.

Anak yatim piatu sering kali menjadi tokoh utama buku fantasi, sebut saja Harry Potter dan tiga bersaudara Pevensie di seri Narnia. Kate ini tipe anak pertama banget, Michael sedikit tidaknya mirip dengan karakter John Stephens sendiri. Sama-sama berkaca mata dan mengidolakan kurcaci. Karakter yang lovable, plot yang tidak bertele-tele adalah kekuatan buku pertama dari trilogi Emerald Atlas. Pengarang yang juga adalah penulis serial Gilmore Girls dan The OC. mampu membuat saya berhasil menghabiskan Emerald Atlas dalam waktu dua hari.

Buku ini cocok dibaca untuk semua umur walau golongan Middle Grade adalah sasaran utama. Fantasi yang tidak terlalu kelam, saya tidak merasakan aura gelap vampire dan werewolves, memang sih ada penyihir sakti tapi apa pula serunya membaca buku kalau tidak ada tokoh antagonis? 🙂

Sayangnya di bagian akhir, time travel yang cukup sering disebut sempat membuat saya bingung. Doh, tadi katanya middle grade tapi sudah umur segini masih ga ngerti 😀 Satu lagi, coba saja ada gambar peta yang melukiskan Cambridge Falls dan dunia yang ada di dalamnya bakal lebih menarik!

Gramedia
Versi Gramedia

Tidak seru mereview buku kalau tidak menyebut soal cover bukan? Saya suka cover aslinya, cover Gramedia kurang ‘segar’ warna hijaunya terlalu kinclong dan siluet 3 anak yang ada di gambar kurang mewakili karakter Emma. Emma disebutkan sebagai anak yang berani bahkan sering kali berkelahi jika Michael diejek, tinggi badan mereka hampir mirip. Sedangkan di cover Emma terlihat sangat mungil malah lebih mirip dengan anak balita. Terjemahan mbak Poppy enak dan minim typo. 3 bintang!

Detail buku : Emerald Atlas : Buku-buku Permulaan – John Stephens, cetakan I -Juli 2011. Alih bahasa : Poppy Damayanti Chusfani. Desain cover : eMTe.

Jangan lupa mampir ke website resmi Emerald Atlas, selain bisa mendownload activity guide, ada trailer buku dan gambar beberapa tokoh penting di buku selain Kate, Michael dan Emma.

adventure · ebook · fantasy · young adult

Yelena, the food taster – Poison Study #1

Sinopsis (Goodreads) : Choose: A quick death…Or slow poison…

About to be executed for murder, Yelena is offered an extraordinary reprieve. She’ll eat the best meals, have rooms in the palace—and risk assassination by anyone trying to kill the Commander of Ixia.

And so Yelena chooses to become a food taster. But the chief of security, leaving nothing to chance, deliberately feeds her Butterfly’s Dust—and only by appearing for her daily antidote will she delay an agonizing death from the poison.

As Yelena tries to escape her new dilemma, disasters keep mounting. Rebels plot to seize Ixia and Yelena develops magical powers she can’t control. Her life is threatened again and choices must be made. But this time the outcomes aren’t so clear…

Study #1
Study #1

Review :

Kelar juga buku ini setelah 4 bulan lebih terpampang menjadi salah satu penghuni rak currently reading, gini nih kalo baca ebook *pentung pake iPad* *maunyaa*. Ceritanya sih seru, Yelena seorang gadis yatim piatu yang sedang menunggu hukuman mati karena ia terdakwa membunuh anak pemilik panti asuhan tempat tinggalnya sedari kecil. Adalah Valek, seorang food taster berhasil membuatnya lolos dari hukuman mati, walau syaratnya berat. Yelena harus belajar dan menjadi seorang food taster Commander Ambrose, pemimpin daerah Ixia , serem juga sih wong taruhannya nyawa.

Lepas dari hukuman mati bukan berarti hidup Yelena aman, banyak musuh yang mengincar nyawanya, terlebih lagi Jenderal Brazell yang ingin membalas kematian Reyad, anaknya yang tewas di tangan Yelena. Tak hanya itu, di kawasan Ixia di mana sihir dilarang, Yelena malah menyadari ia memiliki bakat untuk menjadi seorang penyihir. Komplit!

Could the strange buzzing sound that erupted from my throat and saved my life really be the same as Irys’s power? If so, I must keep my magic a secret. And I had to gain some control of the power to keep it from flaming out. But how? Avoid lifethreatening situations. I scoffed at the notion of evading trouble. Trouble seemed to find me regardless of my efforts. Orphaned. Tortured. Poisoned. Cursed with magic. The list grew longer by the day.

Saya pikir sesuai judulnya kita akan disuguhi petualangan Yelena menjadi seorang food taster, jarang-jarang buku Young Adult mengambil tema seperti ini kan? Premisnya bagus, ceritanya menarik, apalagi pengarang pintar memberikan nama untuk tokoh-tokohnya. Rayed, Valek, Yelena adalah beberapa di antaranya. Sayangnya Maria Snyder sepertinya ingin memasukkan semua intrik ke buku pertama dari trilogi Study. Dari yang seorang yatim piatu, food taster, penyihir. Kemudian perpindahan adegan berlangsung cepat, bikin bingung. Beberapa review yang memberikan bintang 5 dibilang fast paced, kalau saya bilangnya malah kecepetan dan rada maksa. Karakter pendukung kurang dieksplor lebih dalam berasa hanya tempelan saja dan endingnya gampang tertebak.

Hubungan Valek dan Yelenapun terbilang datar-datar saja, tidak terlalu banyak chemistry di antara mereka dan saya pribadi tidak merasakan adanya getaran asmara eeh di akhir kisah tiba-tiba mereka menjadi sepasang sejoli, walau kalimat Valek ke Yelena bagus juga.

“Yelena, you’ve driven me crazy. You’ve caused me considerable trouble and I’ve contemplated ending your life twice since I’ve known you.” Valek’s warm breath in my ear sent a shiver down my spine. 

“But you’ve slipped under my skin, invaded my blood and seized my heart.” 

“That sounds more like a poison than a person,” was all I could say. His confession had both shocked and thrilled me. 

“Exactly,” Valek replied. “You have poisoned me.”

Aw aw aw aw, senangnya 🙂 Kapan pacar saya bisa kaya gini ya #plaaak.

3 bintang untuk Poison Study, saya suka dunia yang diciptakan oleh Maria V. Snyder, mudah-mudahan kisahnya bakal lebih menarik di buku 2 dan 3 yang masing-masing berjudul Magic Study dan Fire Study.

Oia, Violet books telah menerjemahkan seri #Glass, lanjutan dari serial Study ini, sayang kenapa bukan yang ini diterbitkan dulu ya?

inspiring · memoar

When God Was a Rabbit

When God Was a Rabbit memiliki magnet tersendiri buat saya, dari judulnya yang ‘nakal’, cover hangat ditambah dengan latar pasangan siluet laki-laki dan perempuan. Awalnya saya pikir WGWaR adalah buku drama yang manis. Salah besar ternyata :p

versi Bentang
versi Bentang

When God Was a Rabbit adalah buku drama komedi satir yang kompleks. Pahit sekaligus juga manis. Terbagi menjadi 2 bagian, yang pertama memoar Elly saat ia kecil dan bagian kedua ketika Elly menginjak usia yang ke 27. Tulisan Sarah Winman langsung terasa ‘megang’ sejak awal kisah.

 “Apakah Tuhan mengasihi semua orang”, tanya Elly kepada mamanya.

“Tentu saja”

“Apakah Elly mengasihi pembunuh?”, rupanya Elly belum puas bertanya.

“Ya”

“Perampok?”

“Ya”

“Tinja?”

“Tinja bukan mahluk hidup, Sayang”, kata Mum serius.

“Tapi, kalau iya, akankah Tuhan mengasihinya?”

“Ya, kurasa begitu.” – halaman 9 –

😀

Saya jatuh cinta dengan karakter Elly, gadis kecil yang kritis, bolak balik saya dibuat tersenyum dengan pertanyaan ataupun kalimat yang ia ucapkan. Seperti yang ada di pikirannya : Aku sudah menetapkan bahwa bila Tuhan ini tidak mengasihiku, sudah jelas aku harus mencari Tuhan lain yang bisa (hal12).

Kesatiran When God Was a Rabbit tampak jelas di halaman 18, ketika Elly mulai menjalin persahabatan dengan Mr. Golan, tetangganya yang ‘katanya’ orang Yahudi. Ia ingin menjadi orang Yahudi, pertanyaannya ke Mum, “Katamu aku boleh jadi apa saja yang kumau kalau sudah besar.”

“Memang, tapi menjadi Yahudi itu tidak mudah lho.”

“Aku tahu. Aku butuh nomor.”

*hening*

Tapi kegembiraan saya tidak berlangsung lama, halaman 20an ada kejadian yang tak terduga yang mau tak mau membuat saya mengambil kesimpulan buku ini bukan buku biasa.

Ayah Elly adalah seorang Atheis. Joe, kakak lelakinya yang lima tahun lebih tua sedari kecil suka memakai lipstik mamanya di saat malam tiba. Tantenya juga memiliki disorientasi seksual. Walaupun WHen God Was a Rabbit termasuk dalam kategori ‘light read’ tapi isinya berat. Pelecehan seksual, kanker, penculikan, mutilasi adalah sebagian dari permasalahan yang ada di sekeliling Elly.

Membaca When God Was a Rabbit seakan-akan saya menonton film Indie, original dan bukan pakem buku drama pada umumnya. Kaget juga saya ketika tahu ini buku adalah buku pertama Sarah Winman. Kalau yang berminat membaca buku yang lain dari yang lain, When God Was a Rabbit patut dicoba, jangan terkecoh dengan judul dan covernya. Buku ini berkisah tentang keluarga, cinta, tragedi, kehilangan.

This is a book about a brother and a sister. It’s a book about secrets and starting over, friendship and family, triumph and tragedy, and everything in between. More than anything, it’s a book about love in all its forms.

Indeed.

Salut untuk Penerbit Bentang yang jeli menerbitkan buku ini ke bahasa Indonesia di saat yang tepat, sedang hangat-hangatnya nih di bookdepository.com selain buku karangan Georde R. R. Martin – serial Game of Thrones. Masalah terjemahan? Masih perlu diragukan kualitas mbak Rinurbad? 🙂

4 bintang.

cover versi USA
cover versi USA
versi UK
versi UK

Saya cantumkan 2 versi luarnya, IMO setelah membaca sepertinya cover Amerika yang lebih ‘pas’ dengan isi bukunya.

Detail buku : When God Was a Rabbit – Sarah Winman, 398 halaman, cetakan I – Agustus 2011. Penerbit Bentang. Penerjemah : Rini Nurul Badariah.