Bintang 5 dan seperti biasa tak tahu juga apa yang salah dengan diri saya yang selalu saja kesusahan jika hendak mereview buku yang sukses mencampuradukkan emosi. Bisa jadi karena saya sadar kualitas review saja jadi mau tak mau buku dengan predikat bintang 5 memberikan beban tersendiri buat saya. Lah, jadi curhat. Yuk ah, saya coba menceritakan isi buku yang sukses membuat mata saya bengep dan bengkak, tissue yang habis berlembar-lembar dan tatapan bengong sang pacar saat melihat saya meneteskan air mata, kebetulan bab akhir yang fenomenal ini dibaca saat saya mengantar doi bagian fisioterapi. Hihi, jangan-jangan pasien lain malah berpikir pacar tertimpa bencana besar kali sampai saya nangis sesenggukan. Oia, bicara soal moment, Astrid malah lebih heboh membaca buku ini saat honeymoon! Haduh 😀

Sinopsis :
Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam.
Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi.
Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!
Kalimat itu sering kali diucapkan ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak. Dan kenekatan Mariam harus dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui Jalil secara diam-diam, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri. Sontak kehidupan Mariam pun berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah kepahitan sebagai anak haram. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.
Buku yang mengisahkan 2 wanita beda generasi yang bersatu karena takdir ini dimulai dengan kisah Mariam. Seorang gadis kecil, anak haram yang hidup terpencil bersama ibunya yang menderita epilepsi. Nana, sang ibu adalah sosok yang penuh dengan kepahitan, digosipkan sering dirasuki oleh jin sehingga batal menikah. Nana menjadi pembantu di rumah Jalil, pria kaya yang memiliki 3 istri. Nasib mulai mempermainkan hidup Nana ketika perut Nana yang membuncit. Istri-istri Jalil mengusirnya. Ayah Nana sendiri tidak mau mengakuinya sebagai anak. Dan Jalil ternyata tidak cukup memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, alih-alih Jalil mengucilkan Nana di Desa Gul Daman, bukit terjal yang jauh dari mana-mana.
Proses kelahiran Mariam adalah ringisan pertama saya saat membaca buku setebal 507 halaman ini. Duh, seram! Mariam tumbuh tanpa kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tua, walaupun ia rutin dikunjungi oleh Jalil, tetap saja ia merindukan kehangatan keluarga. Hal itulah yang membuatnya nekat mengunjungi ayahnya di kota. Tindakan yang mengubah seluruh hidup Miriam, ayah menolaknya, ibunya bunuh diri, belum cukup pengarang mengagetkan kita, Mariam bahkan dipaksa menikah dengan duda tua teman Jalil.
Ah, Mariam, sungguh malang nasibmu.
Pernikahan Mariam dengan bapak tua yang digambarkan ala om-om tambun adalah peristiwa kedua yang kembali membuat saya meringis dan tangan saya mulai dingin saat adegan malam pertama Mariam. Untungnya kisah bergulir cepat dan Mariam hamil. Nah, bagian ini sedikit membuat saya bernafas lega. Dan itu tidak berlangsung lama, ada kejadian yang sebaiknya tidak saya tulis karena takut akan memberikan spoiler yang jelas akan mengurangi kenikmatan membaca. Pokoknya mulai pertengahan buku Khaled Hosseini berhasil memutarbalikkan perasaan dan emosi saya seenak hatinya. Ngilu, tercabik-cabik, tidak tahu kata apa lagi yang pas untuk melukiskan bagaimana saya mengikuti jalan hidup Mariam. Jengkel, dongkol juga saya rasakan ketika Rasheed, suami Mariam marah karena masakan Mariam kurang berkenan ia menjejalkan batu untuk Mariam kunyah. Tsk, bahkan saat menulis review ini emosi saya kembali bergolak.
Bagian ketiga, di saat saya sudah mulai terikat dengan karakter Mariam yang bahkan hawa panasnyapun seakan bisa saya rasakan, pengarang seakan mempermainkan pembaca. Kita dibawa ke kehidupan Laila, remaja putri yang hidup di keluarga terpelajar walau ibunya sedikit mengalami gangguan jiwa. Khaled Hosseini seakan menunjukkan kekontrasan hidup wanita di Afganistan. Laila hidup bahagia, teman-temannya banyak, ayahnya pintar dan apalagi ada teman laki-lakinya yang menjadi favorit saya di buku ini, Tariq. Dan seperti biasa dalam sekejap nasib bisa berubah. Sampai di sini saya tidak akan bicara lebih jauh, yang jelas mulai bagian ketiga di pertengahan buku para pembaca akan diajak menaiki roller coaster Afganistan melalui bagaimana kehidupan Mariam dan Laila dipermainkan oleh takdir kehidupan yang muncul dalam bentuk perang, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana cinta dan harapanlah yang membuat mereka bisa bertahan hidup.
“Sebuah cerita tentang harapan akan kemenangan, juga kekuatan menepis ketakutan. Sungguh megah!” – New York Daily News
“A Thousand Splendid Suns, tidak hanya menyuguhkan kepada pembaca tentang realitas Afghanistan, tetapi juga menunjukkan kemampuan dan bakat Hosseini; melodrama dari setiap plot; pelukisan yang tajam; penggambaran karakter hitam-putih; dan pengolahan emosi yang memukai.” – New York Post
“… kisah yang sangat memilukan tentang perjuangan perempuan Afghan dalam mengarungi kerasnya hidup.” – Entertainment Weekly
“Prosa Hosseini begitu menghunjam. Ia tidak hanya mengungkap sisi politik, tetapi juga sisi paling personal ….” – The Guardian
Penggalan review di atas tidak cukup mewakili apa perasaan saya mengenai isi buku ini, memang bagi penggemar happy ending yang menghindari novel sedih ada baiknya saya berikan peringatan lebih dahulu. Tidak, buku ini bukan untuk pembaca berhati lemah, tapi bagi anda yang ingin membaca bacaan berkualitas tentang cinta, harapan dan perjuangan luar biasa wanita-wanita yang memang nyata adanya A Thousand Splendid Suns wajib dibaca.
Ingat bawa tissue ketika mendekati bab akhir.
You’ve been warned.
Saya baca buku terbitan Mizan Gold Edition, terjemahannya enak dan mengalir, covernya paling bagus di antara edisi lainnya. Perempuan muda yang nampak di cover termenung tapi seakan langit cerah di belakangnya mengisyaratkan ada bahagia yang menanti, ada thousand splendid suns 🙂 Sedangkan cover di bawah ini yang terasa hanya sedihnya saja.

A Thousand Splendid Suns, dipilih pengarang untuk dijadikan judul berdasar puisi dari Saib Tabrizi :
Every street of Kabul is enthralling to the eye
Through the bazaars, caravans of Egypt pass
One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls
Quote favorit saya :
“Behind every trial and sorrow that He makes us shoulder, God has a reason.”
Dan ada satu paragraf yang diucapkan Nana kepada Mariam, tajam, dalam dan mengiris hati : “Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus, anakku: Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke Utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam.”
Detail buku : A Thousand Splendid Suns
Pengarang : Khaled Hosseini
507 halaman, Edisi Gold, cetakan I, Desember 2010.
ahhh aku juga suka banget buku iniii :D:D benci jg sama Rasheed dan suka jg sama Tariq.. hihihi 😉 nice review mba Miaa ;*
Makasih Stef 🙂 Iya duh ya liat Rasheed itu pengen marah aja bawaannya dan Tariq duh dia sangat mencerahkan layaknya bunga matahari! *apaan sih* :p
salah satu all time favorite saya ini, sakit hati saya bacanya… nggak tega sama Mariam dan Laila
Iya bener, Non. Buku ini jadi all time fave deh, luar biasa. Pengen baca Kite Runner tapi selang beberapa bulan deh 🙂
Uda setahunan nangkring di TBR mba, cuma mau baca nunggu momen yg tepat. Pas liburan misalnya~ dan pas lagi pengen nangis. Abisnya baca Kite Runner aja tuh ngenaaa bgt. Hehe.
Aku skip ya reviewmu, takut kena spoiler 😛
Reviewku bebas spoiler kok Ky, hehe, oiaa bukumu sudah sampai terima kasih yaaa 🙂
ah..si khaled hoseini selalu bikin saya kehabisan stok tissue 😦
udah ga sabar nunggu karya terbarunya..
Iya mbak, bakal ada novel baru lagi ga ya beliau? pasti bakal dibeli deh! 🙂
Dibanding buku ini, aku lebih dapat emosi The Kite Runner. Sampai nyisa berbulan-bulan.
gara-gara nonton filmnya Kite runner, saya malah malas baca bukunya *toyor kepala sendiri*.
wah teman-teman sudah pada banyak baca buku ini ya..
ada yg mau baca bareng saya? hihii
telat ngebaca review-nya Mia… padahal hari minggu lalu ke Gramedia dan udah megang-megang ni buku… tapi karena ragu takut ceritanya nggak bagus, diletakin lagi ke raknya… 😦 😦
malah sekarang kepikiran kapan bisa ke Gramedia buat beli tu buku…
Ah sayang banget Put, mau pinjam punyaku aja?
Kalau saya lebih suka ini daripada The Kite Runner, soalnya ceritanya lebih mengalir. The Kite Runner agak tersendat-sendat (emangnya saluran aer? :P)
Stuju, ni buku merobek-robek hati saya, nggak kuat ah kalo harus dibaca ulang.
Ah iya Cit, sekali sudah cukup lagian membekas banget kok buku ini :p
seperti biasanya, reviewnya mia meracuniku lagi. huhuhuhu..
Etapi ngakak pas bagian nyebut cik Astrid. kekekekeke..
Ayo Nooov, baccaaa. Oia lama sudah tak sua dengan dirimu ditunggu ya ‘karya’ terbarunya :p *wink*
Huwaa, baca buku ini lama banget aku! Bikin sesak napas tiap satu halaman, mana banjir air matanya haduh. Great review kak Mia! 🙂
Ah iyaa dulu kan gara-gara reviewmu juga K Mia pengen baca Hilda 🙂
mau nanya nih…., beli buku ini yang versi inggris dimana ya? terus cara pesanya gimana?
makasih atas masukanya…….
Halo, kayaknya di Periplus atau Kinokuniya ada 🙂
pengen beli novel a thousand splendid suns!! biar lengkap koleksi buku dari khaled hosseni nya
Saya masih mencari buku ini. Mohon infonya dimana yg msh ada stock? Gramed matraman Dan slrh framed Bogor sdh tdk ada stock. Thx utk infonya
Coba di online shop saja kali ya?