
Heartbreaking, yet uplifting. Kesan yang saya dapat dari buku ini. Sejak pertama kali melihat buku ini di toko buku, I know I’m gonna love this book.
Berkisan tentang Laksmi, gadis kecil dari Nepal berusia 13 tahun yang dijual oleh ayah tirinya sendiri ke rumah bordil. keluguan, kenaifan seorang anak kecil terpampang dengan jelas di buku ini, karena kisah ini dikisahkan dari sudut pandang si Laksmi sendiri.
Buku setebal 310 halaman saya selesaikan dengan semalam karena ternyata isinya cukup ringan dan gaya penulisan yang beda dari novel biasanya.
Laksmi, diiming-imingi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota cukup dengan permen manis ia sudah sangat senang. Kaki tangan sang pemilik rumah bordil memberitahukan Laksmi, “Saat melewati perbatasan, engkau harus memanggilku suami!”
Laksmi yang polos, menurut saja apa kata si paman dan mereka berhasil melewati India dengan aman. Lucunya, di pikiran Laksmi, paman itu sekarang ia panggil dengan paman suami.
Ketika tiba di rumah bordil, tiba waktunya Laksmi berpisah dengan paman suami, nah bagian-bagian ini membuat saya merinding. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya seorang Laksmi, 13 tahun dipaksa melayani lelaki berbibir ikan.
Pria berbibir ikan itu melepas gaunku.
Kutunggu diriku untuk melawan. Namun tak ada yang terjadi.
Lantas dia di atasku, dan sesuatu yang panas dan menuntut ada di antara kedua tungkaiku.
(hal 162)
Kira-kira seperti itulah cara penulisan Patricia di novel ini dari awal sampai akhir. Kalimatnya cukup singkat, tapi sudah berhasil membuat saya terentuh, berdebar-debar, bahkan hampir menitikkan air mata.
Rumah bordil, yang di sini disebut dengan rumah kebahagiaan berhasil merebut masa gadis Laksmi, masa di mana ia seharusnya bermain dengan teman-temannya, mengerjakan pr di sekolah. Laksmi mulai terbiasa membutakan segenap panca indranya, agar ia buta dengan wajah para lelaki yang membayarnya 30 rupee (seharga dengan 1 kaleng coca cola), agar hidungnya tidak mencium bau amis para lelaki berperut gendut.
Lakmi memiliki beberapa teman di rumah kebahagiaan, salah satunya bocah berbaju David Beckham, seringkali ia mengamatinya.
Aku tahu, dari segala kegiatannya bahwa dia hanyalah laki-laki biasa.
Namun, sesekali kutemukan diriku membenci dirinya.
Aku benci dia karena memiliki segala buku sekolah dan teman bermain.
Karena memiliki seorang ibu yang menyisir rambutnya di pagi hari.
Dan, karena kemerdekaan untuk datang dan pergi sesukanya.
Namun, kadangkala aku membenci diriku sendiri karena membencinya.
Hanya karena dia seorang anak laki-laki biasa.
Dan si laki-laki biasa ini mengajarkan Laksmi menulis dan membaca, sampai suatu ketika ia memberikan Laksmi sebuah pensil.
(hal 244)
Sebulir air mata bergulir di pipiku.
Aku telah dipukuli di sini,
dikurung,
dianiaya ratusan kali,
dan ratusan kali lagi.
Aku telah dibiarkan kelaparan,
dan ditipu,
dijebak,
dan dipermalukan.
Betapa anehnya, aku telah luluh sepenuhnya oleh kebaikan hati seorang bocah lelaki dengan sebatang pensil kuning.
Baca buku ini kebetulan juga dengan maraknya perkosaan anak kecil yang terjadi di Bali. Betapa saya mengutuk pria ini, karena ia tidak sekedar merobek selaput dara si anak, tapi sekaligus menghempaskan masa depan anak kecil tak berdosa dalam waktu 5 menit saja!!
Postingan lama di Goodreads, rencananya diposting bareng untuk tema bacaan perempuan. Membaca review singkat yang saya tulis penuh emosi 2 tahun lalu membuat ingin membaca ulang buku ini.
5 bintang.
Detail buku : Sold
Pengarang : Patricia McCormick
310 halaman, Penerbit Pustaka Iman.