2012 · BBI · classic · drama · historical · touch of Asia

[Review] The Good Earth – Pearl S. Buck #postingbareng

Though more than sixty years have passed since this remarkable novel won the Pulitzer Prize, it has retained its popularity and become one of the great modern classics. “I can only write what I know, and I know nothing but China, having always lived there,” wrote Pearl Buck.

Haihai! Postingan kali ini dibuat dalam rangka baca bareng BBI, setelah ikutan listopia 1001 books that you should read before you die, kali ini teman-teman BBI sepakat untuk menjajal penulis Nobel untuk posting bareng. Setelah ditimbang-timbang saya memilih Pearl S. Buck yang kebetulan saya suka dan lagi buku The Good Earth yang tergeletak merana semenjana ingin dibaca. *tsah* Saya tidak salah pilih! Walau buku ini baru kelar jam 1 subuh tadi, 5 bintang untuk Wang Lung dan Pearl S. Buck tentunya. Berhubung ini review dibuat mepet sumepet langsung saja yuk kita time travel ke dataran Cina tahun 1920an awal eh apa 1930an ya, yang jelas sebelum meletusnya perang dunia kedua.

First Edition
First Edition

The Good Earth berkisah tentang jatuh bangun seorang petani miskin bernama Wang Lung, ia hidup bersama ayahnya. Di awal buku kita juga mengetahui Wang menikah dengan budak yang bekerja di rumah keluarga kaya bernama O Lan. Namanya budak tentu saja yang Wang dapatkan adalah seorang gadis berwajah biasa saja, kaki yang tidak diikat namun kelebihannya O Lan adalah wanita pekerja keras dan pintar masak. Wang Lung bekerja mati-matian untuk menghidupi ayahnya yang semakin tua apalagi ketika didengarnya O Lan mengandung.

“Wang Lung sat smoking, thinking of the silver as it had lain upon the table. It had come out of the earth, this silver, out of the earth that he ploughed and turned and spent himself upon. He took his life from the earth; drop by drop by his sweat he wrung food from it and from the food, silver. Each time before this that he had taken the silver out to give to anyone, it had been like taking a piece of his life and giving it to someone carelessly. But not for the first time, such giving was not pain. He saw, not the silver in the alien hand of a merchant in the town; he saw the silver transmuted into something worth even more than life itself – clothes upon the body of his son.”

Sebelum lanjut quote di atas sengaja saya cantumkan, walau tidak dengan bahasa berbunga-bunga, Pearl S. Buck dengan pas menyiratkan makna tanah dan anak dari Wang Lung, apalagi kalau membaca langsung bukunya, ah saya merasa malu dengan hidup saya yang sedemikian pemalasnya dibanding dengan Wang Lung yang begitu mencintai tanahnya, terus bekerja tanpa henti.

Tahun terus berlalu, kelaparan hebat melanda Cina tapi Wang Lung sekeluarga mampu melewatinya setelah mengungsi, Wang tidak bertahan lama di tempatnya yang baru karena ia terus memikirkan tanahnya. Setelah dirasanya memiliki uang yang cukup ia kembali ke desa dan bekerja lebih giat lagi. Kaya dan semakin kaya. Akhirnya Wang Lung berhasil menabung keping perak dan emas dalam jumlah yang banyak.

Wang Lung tetap ingin lebih kaya lagi dan repotnya ia terperosok di tempat yang sangat wajar ketika pria sedang di puncak kejayaan. Wanita. Petani lugu sudah tidak ada lagi, Wang mulai mampir ke rumah bordil dan jatuh hati dengan perempuan berkulit halus, kaki mungil, mata besar macam buah aprikot bernama Lotus.

Sampai di sini cerita mulai semakin menarik dan untuk selanjutnya lebih enak jika dibaca sendiri *alesanwaktupostingmakinmepet* :p Selain saya tidak ingin menebar spoiler sensasi membaca karya Pearl S. Buck itu harus dinikmati pelan-pelan. Jangan harap ada klimaks yang membuat jantung kita berdebar-debar atau gemes pengen mites akan satu tokoh. Semua dibeberkan pelan, pelan dan pelan, itu juga sebabnya waktu yang saya butuhkan untuk membaca bagian awal sampai tengah juga tersendat-sendat. Tapi kita seakan ikut menjadi saksi hidup kehidupan Cina jaman itu, bagaimana saat kelaparan melanda, betapa timpangnya harga laki-laki dan perempuan dan ikut terbuai saat bau candu menguar di rumah keluarga kaya.

Sampai akhir buku pertama saya sendiri tidak menyangka akan memberikan bintang lima, tapi perasaan hangat dan kisah yang sedikit menggantung meninggalkan bekas yang dalam di hati. Jelas-jelas The Good Earth adalah salah satu dari 10 buku terbaik yang saya baca untuk tahun ini.

Bumi yang Subur
Bumi yang Subur

The Good Earth adalah buku pertama dari trilogi House of Earth, buku kedua dan ketiga sudah diterjemahkan oleh Gramedia dengan judul Wang si Macan selanjutnya disusul dengan Runtuhnya Dinasti Wang. Mau saya cari ah lanjutannya.

The Good Earth diterbitkan tahun 1931, memenangkan Pulitzer tahun 1932 dan meraih Pearl S. Buck meraih Nobel tahun 1938  yang menurut new York Times diberikan ‘for her rich and truly epic descriptions of peasant life in China and for her biographical masterpieces’.

Hail to Pearl S. Buck
Hail to Pearl S. Buck

 

 

2012 · not mine

[Review] 50 Shades of you-know-who.

*bengong selama 10 menit*

Heuuh, bingung dong mau tulis review macam gimana *perseteruan antara inner goddess dan subconscious*.

Okeh deh, sepertinya saya ga bakal nulis review panjang-panjang karena semua pasti sudah tahu perihal Anastasia Steele dan Christian Grey kan ya? No? Yeslah yaa, secara buku ini sedemikian hebohnya bahkan mengalahkan penjualan Harry Potter! (correct me if i’m wrong, lagi malas browsing).

Saya ini tipe yang rada nyinyir soal buku, jadi kadang kalau sudah tahu itu buku bukan selera seseorang dan seseorang itu tetep baca, my inner goddess will say, ” Udah tau ga suka, lah kok masih baca?”. Nah sekarang balik ke saya, sudah jelas-jelas bukan penikmat roman apalagi jenis kelas berat macam begini kok masih berani coba, hayo? Salah siapa? Dan kali ini subconscious saya menang, keingintahuan mengalahkan suara si inner goddess *inner goddess batal joget gangnam*. Yes, i want to know how great Christian Grey is. Terlebih lagi ada yang bersedia meminjamkan bukunya pada saya, mengapa tidak dicoba? Walau sebelum baca saya sudah wanti-wanti, jangan ngomel melulu, jangan komplen dan siapkan pikiran selayaknya target pembaca yang diharapkan oleh E. L. James aka mommy of porn? *rollineyes*.

Fifty Shades of Grey
Fifty Shades of Grey

Sinopsis yang saya ambil dari Goodreads :

When literature student Anastasia Steele goes to interview young entrepreneur Christian Grey, she encounters a man who is beautiful, brilliant, and intimidating. The unworldly, innocent Ana is startled to realize she wants this man and, despite his enigmatic reserve, finds she is desperate to get close to him. Unable to resist Ana’s quiet beauty, wit, and independent spirit, Grey admits he wants her, too—but on his own terms.

Shocked yet thrilled by Grey’s singular erotic tastes, Ana hesitates. For all the trappings of success—his multinational businesses, his vast wealth, his loving family—Grey is a man tormented by demons and consumed by the need to control. When the couple embarks on a daring, passionately physical affair, Ana discovers Christian Grey’s secrets and explores her own dark desires.

Erotic, amusing, and deeply moving, the Fifty Shades Trilogy is a tale that will obsess you, possess you, and stay with you forever.

Ok, kalau saya membaca buku ini saat usia 17 atau 20 tahun, bisa jadi saya tergila-gila dengan Christian Grey. Kaya, ganteng, uang tak terbatas, penyayang *eeeek, penyayang?* semua itu bisa menutupi kekurangannya yaitu posesif dan sifatnya yang dominan di *uhuk* tempat tidur. Kehidupannya di ranjang tak jauh dari hubungan BDSM, bagi yang belum jelas soal BDSM bisa cek di google dan tidak, saya tidak akan membelikan kalian satu buah MacBook Pro untuk itu 😀

Ana, gadis belia polos, 21 tahun, layaknya gadis kebanyakan yang terkadang tidak pede dengan dirinya sendiri, slebor, yah mirip dengan tokoh-tokoh yang diciptakan oleh Sophie Kinsella yang mungkin sedikit tidaknya mirip dengan saya atau dengan kita semua, bisa jadi karena itu juga 50 shades laku keras, ada Ana dalam setiap diri kita.

Gimana ga klepek-klepek jikalau laki-laki gagah perkasa adi kuasa sakti mandraguna *eeeh* bertekuk lutut di hadapan gadis yang biasa-biasa saja? Macam Edward Cullen dengan si Isabella Swanlah. Apa hebatnya sampai drakula dan manusia serigala bisa mati-matian naksir perempuan tanpa ekspresi dari Forks? Hanya Stephenie Meyer dan E. L. James yang tahu.

Kembali ke 50 shades, jadi setelah membaca wajar saja jika trilogi ini meledak di mana-mana. Adegan ranjang yang lumayan vulgar pun masih bisa diterima oleh banyak pembaca, tapi terus terang beberapa adegan saya skip karena selain tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk alat dan cara kerjanya, serem sendiri >.<

Beberapa hal yang mengganggu saat saya membaca 50 Shades :

1. Penulisan repetitif. Gaya bahasanya ini bolak balik membuat saya melakukan rolling eyes dan untungnya tidak ada Christian Grey deket-deket saya, yang sudah baca pasti mengerti :p

Crap, holy crap, double crap, triple crap. Errr. Dan masih banyak kata-kata lainnya yang mungkin di beberapa reviewer di Goodreads yang menghitung pengulangan beberapa kata, aduh saya makasih aja deh.

2. Saya mengerti dengan keluguan Ana, tapi satu yang saya tidak bisa terima dari penulis, sadarkah ia dengan yang ia tulis ini mempengaruhi banyak pembaca? Apalagi pembaca muda? Aduh yang masih muda-muda mending jangan baca buku ini ya!! Editornya mana? Adegan menggunakan sikat gigi bareng itu NGGAK BANGET.

Bukan karena saya dokter gigi saya ‘komplen’ bagian Ana menggosok gigi menggunakan sikat gigi kepunyaan Christian. Beneran deh, apakah penulis sendiri juga sikat gigi menggunakan sikat gigi pasangannya? haduh haduh dan bisa-bisanya dianggap thrilling oleh Ana. Thrilling? Yang bener aja.

3. Ini bukan pertama kalinya saya membaca buku roman dan masih banyak cara untuk menunjukkan bahwa Christian Grey adalah seorang laki-laki dominan, tapi TIDAK dengan bercinta dengan perempuan pada saat datang bulan.

Yuck.

Adegan BDSM dan segala jenis kontraknya masih bisa dimaklumi, tapi tidak untuk yang ini.

There I said it.

Fiuh.

Di twitter @anadudunk sempat bertanya apakah saya akan melanjutkan buku keduanya atau tidak, tidak, saya tidak berniat melanjutkan membaca buku selanjutnya tapi saya masih ingin tahu kisah akhir Ana dan Grey, mereka tetap lanjutkah? Feeling saya sih lanjut, ada yang berniat membocorkan kisah mereka? :p

Sebelum review ini saya sudahi, subconscious saya mau bicara terkait dengan apa kira-kira yang membuat buku 50 shades laris di mana-mana :

1. Cover yang minimalis dan modern. Coba bandingkan dengan cover historical romance macam perempuan kadang tanpa wajah berdiri di tengah kebun atau wanita berdada aduhai di pelukan pria kekar macam Ridho Rhoma tanpa bulu #eeeeh, oh atau postur pria berdada bidang tanpa wajah macam iklan pakaian dalam pria *maaf para penggemar romance*.

Noooh, got my point?
Noooh, got my point?
See??? :p
See??? :p
Where are you, Mr.Grey?
Where are you, Mr.Grey?

2. Kisah cinta klasik senantiasa hidup tak lekang masa. Aih bahasanyaaa si mia bawah sadar. Apa yang membuat Twilight dihina sekaligus dipuja puji? Tak beda dengan hubungan Ana – Grey. Kita semua senang dengan kisah yang menye-menye, Grey ternyata berhasil jatuh cinta dengan perempuan biasa, roman picisan kalau kata inner goddess saya, toh masih tetap laku bukan?

3. Seperti yang saya bilang di atas, ada sosok Ana dalam setiap kita. Saat membaca kontrak perihal urusan ranjang yang nyeleneh, Ana penasaran tapi sekaligus takut. Manusiawi kok, kita semua punya rasa ingin tahu, saya pun demikian saat memutuskan membaca 50 shades. Benar tidaknya perilaku BDSM mungkin bukan saya yang berhak memutuskan. Hanya satu pesan saya siapkan mental saat membacanya, jikalau tidak sreg, ya mending tidak usah dilanjutkan.

*tendang subconscious dan inner goddess*

Sekian review dari saya, mudah-mudahan berkenan bagi yang menanti-nanti *halaah*. Yuk ah! *dadah-dadah pake pecut* #lhooo

Oia, di bawah ini saya tambahkan link saat Ellen mencoba membaca buku 50 Shades of Grey, lucu banget, beneran 😀

Dan cekidot cover Entertainment Weekly, keren sih menurut saya 🙂

50 in EW
50 in EW

Detail buku :

Judul : Fifty Shades of Grey

Pengarang : E L James

Vintage Books, April 2012, 514 pages.

2012 · inspiring

[Review] Hector and the Search for Happiness

Saya senang membaca buku tipe begini, hampir setipe dengan The Geography of Bliss *adooh, baru inget belum review*. Narasi yang menjual, terlebih ada iming-iming dua buku favorit saya The Little Prince dan The Alchemist dan didukung pula dengan cover buku yang rainbowish minimalis membuat saya tanpa pikir panjang membeli Hector and the Search for Happiness di Periplus Juanda 2 tahun lalu.

Hector and the Search for Happiness
Hector and the Search for Happiness

Sayangnya tidak segesit niat membeli, eh buku ini teronggok begitu saja di rak buku, sempat dibaca tapi karena bosan saya tidak melanjutkan lagi. Berhubung ‘omelan’ Goodreads yang ‘you’re 5 books behind’ senantiasa muncul ya sudahlah, waktunya mengeluarkan jurus andalan, baca buku di bawah 200 halaman! ^.^ v Akhirnya butuh waktu 2 hari untuk berkeliling dunia bersama Hector mencari makna kata bahagia.

Saya suka cover yang ini :)
Saya suka cover yang ini 🙂

Jadi begini, Hector sang psikiater yang tidak puas dengan hidup dan pekerjaannya berniat melakukan perjalanan menjelajah dunia untuk mencari apa sebenarnya yang membuat bahagia seseorang. Hector akan mencari rahasia kebahagiaan. Kurang lebih seratus halaman ke belakang Hector berkelana mulai dari Cina, Afrika,Paris sampai Amerika. Inti sari pengalaman dan percakapan dari penjuru dunia dirangkum dalam notes kecil yang Hector beli khusus untuk rahasia hidup bahagia.

Inspiratif semestinya, tapi penulisan Francois Lelord terlalu kaku, malah kadang beliau menempatkan kita sebagai pembaca yang kesannya tidak mengerti banyak hal, sehingga saya malah merasa sedang membaca textbook ketimbang membaca novel. Terlalu bertutur. Mungkin itulah sebabnya butuh dua kali baca ulang novel ini, saya bosan, but it was okay kok. 2 bintang di Goodreads bukan berarti tidak suka kan? 🙂

22 rahasia hidup bahagia menurut Hector :

  1. Making comparisons can spoil your happiness
  2. Happiness often comes when least expected.
  3. Many people see happiness only in their future.
  4. Many people think that happiness comes from having more power or more money.
  5. Sometimes happiness is not knowing the whole story.
  6. Happiness is a long walk in beautiful, unfamiliar mountains.
  7. It’s a mistake to think that happiness is a goal.
  8. Happiness is being with the people you love.
  9. Happiness is knowing your family lacks for nothing.
  10. Happiness is doing a job you love.
  11. Happiness is having a home and a garden of your own.
  12. It’s harder to be happy in a country run by bad people. *well, hellow indonesiaaaa!* >.<
  13. Happiness is feeling useful to others.
  14. Happiness is to be loved for exactly who you are.
  15. Happiness comes when you feel truly alive.
  16. Happiness is knowing how to celebrate.
  17. Happiness is caring about the happiness of those you love.
  18. The sun and the sea make everybody happy.
  19. Happiness is a certain way of seeing things.
  20. Rivalry poisons happiness.
  21. Women care more than men about making others happy.
  22. Happiness means making sure that those around you are happy?

Bagaimana menurut kalian? Samakah?

Menurut saya sih bahagia itu tidak usah dicari-cari, ada dalam diri kita masing-masing kok. Tsaaah.

PS. Buku saya ada edisi tanda tangan pengarang loooh. *mau pamer tapi males foto, besok aja yak*

PSS. Buku ini bakal difilmkan, berdasar berita ini bakal tayang 2014 dengan judul yang sama, pemeran Hector jatuh pada Simon Pegg dan yang menjadi Clara, pacar Hector adalah Rosamund Pike. Mudah-mudahan filmnya bakal lebih bagus ketimbang bukunya.

Simon Pegg
Simon Pegg

Simon Pegg cocok jadi Hector, tinggal tambah kacamata, nerdy-nerdy quirkynya dapet. Rosamund oke-oke aja kalau menurut saya, karena kurang terdeskripsikan dengan jelas karakternya.

Detail buku :

Hector and the Search for Happiness.

Francois Lelord.

Penguin Books, 2010, 165 pages.

2012 · Gagas Media · karya anak negeri

[Review] Kala Kali, mari bermain dengan waktu.

Pembukaan sedikit, postingan kali ini dibuat karena kantuk belum juga menyerang dan melihat kemalasan saya yang semakin meningkat ada baiknya menghabiskan malam dengan mengisi beberapa patah kata di blog :p Jadi jangan berharap bakal menemukan review serius ya teman-teman 🙂 *kaya pernah serius aja sih mi!*

Kala-Kali
Kala-Kali

Kala Kali. Vabyo. Windy Ariestanty. Judul yang sedikit misterius dan jaminan 2 pengarang yang masing-masing bukunya baru pernah saya baca sekali (Kedai 1001 Mimpi dan Life Traveler) membuat saya melakukan PO berbarengan dengan buku @aMrazing. Buku yang saya sangka adalah buku duet fantasi-mistis ternyata memiliki ‘aura’ yang sangat berbeda, hampir tidak ada benang merah di antara kedua kisah kecuali keduanya mengisahkan tokoh yang berulang tahun.

Ramalan dari Desa Emas – Vabyo.

Twisted ending. Ah, jadi ini yang dimaksud beberapa tweet tentang kepiawaian Vabyo meramu ending cerita. Saya belum baca Joker dan Bintang Bunting tapi bisa terbayang Vabyo yang berhasil mengecoh pembacanya. Tidak jelek kok, hanya saja terkesan sedikit dipaksakan. Celetukan Keni si tokoh utama mirip dengan ceplas-ceplos Vabyo di Twitter. Joke yang ditampilkan kurang mulus dan ‘menggigit’. Bisa jadi karena saya berharap membaca karya Vabyo bisa kembali membuat saya ketawa ngakak seperti di Kedai 1001 Mimpi.

Tsk, susah memang untuk tidak membandingkan Kala Kali dengan Kedai dan saya sadar penulis mana pun tidak suka dibanding-bandingkan dengan karyanya yang dulu. Itu sih yang saya lihat dari beberapa tweetnya yang secara tidak langsung menegaskan ini beda loh dengan Kedai. Ya memang beda, satunya fiksi, satunya pengalaman pribadi Vabyo.

Yang membuat saya salut, penulis sempat membalas tweet saya soal Kala Kali (tanpa memention beliau lho ini). Terima kasih atas waktunya dan maaf mengecewakan, kurang lebih seperti itu balasannya. Errh, kaget juga 😀 Momennya hampir bersamaan dengan ‘keramaian’ penulis dan reviewer di Goodreads sehingga mau tak mau saya tersenyum sendiri saat membaca balasan Vabyo.

Saya tetap menantikan karya Vabyo selanjutnya, terlebih lagi lanjutan Kedai 1001 Mimpi dan sukses selalu Valiant Budi!

Bukan Cerita Cinta – Windy Ariestanty.

Setelah berbanyol-banyol dengan Keni, butuh waktu bagi saya untuk mendalami atmosfer puitis yang diciptakan oleh Windy.

Bumi, Koma, Akshara. Saya seakan terlempar ke Jakarta yang mendung, berbau hujan dan senja yang menggelayut. Ish ikutan romantis ala Windy nih ceritanya 😀

Saya menemukan sosok Windy dalam seluruh cerita. Windy yang gemar memotret. Windy yang juga seorang editor. Windy sang pengejar awan. Bleh, sok kenal aja sih saya :p Tapi itu yang saya rasakan saat membaca kisah Bumi dengan Akshara. Banyak filosofis yang dijejalkan dalam novella Bukan Cerita Biasa sehingga banyak yang harus dicerna padahal halaman yang disediakan tak cukup tebal. Pembahasan tentang Tolstoy saya rasa tidak terlalu penting untuk dimasukkan tapi itu menurut saya lhooo yaaa. Mungkin seandainya cerita Bumi dijabarkan lebih mendalam di satu buku terpisah bakal lebih ‘greng’.

3 bintang untuk Kala Kali.

Covernya keren! Misterius gimanaa gitu. Tapiiiiii. He eh, tapinya panjang karena buku ini jadi susah banget dibaca tanpa ketekuk!!