2013 · meme

Buying Monday #1

Akhirnya ikutan Meme lagi, selain agar bisa membatasi diri membeli buku, sepertinya blog ini harus lebih sering diapdetbbiar ga didepak jadi anggota BBI ๐Ÿ™‚

Image

Meme keren yang digagas oleh Non Aul ini pun gampang diikuti, cukup sebulan sekali dan lumayan jadi ajang narsis memamerkan buku baik yang didapat atau dibeli selama 1 bulan. Yuk ikutan! Begini caranya :

  1. Follow The Black in The Books melalui email atau bloglovin’.
  2. Buat post tentang buku-buku apa saja yang dibeli selama bulan itu, publish setiap hari Senin terakhir di bulan itu.
  3. Masukan link post tersebut di linky yang disediakan.
  4. Linky akan dibuka selama 3 minggu, agar bagi yang terlambat, masih bisa mengikuti meme ini.
  5. Bila ada yang memasukan link tentang book haul bulan berikutnya (bukan bulan yang ditentukan), maka link itu akan dihapus dari linky.
  6. Jangan lupa melihat-lihat book haul peserta lain! ๐Ÿ˜€

Untuk bulan Juli 2013, hanya ada 7 buku, sepertinya jauh lebih sedikit dibanding teman-teman yang lain ๐Ÿ˜€

Image
Buying Monday. July 2013

Buku yang saya beli di Gramedia, kebetulan semuanya penulis lokal :

1. Skenario Remang – Remang – Jessica Huwae (4 bintang belum direview)

2. Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya – Dewi Michellia

3. Melbourne – Winna Efendi (4 bintang, sudah direview)

4. Murjangkung – A.S. Laksana

Selanjutnya untuk buku non terjemahan yang kebetulan semuanya saya beli di toko buku bekas Ganesha dan di Legian.

5. The Messenger – Markus Zusak

6. The Shadow of the Wind – Carloz R. Zafon

7. I know Why The Caged Bird Sings – Maya Angelou

Tugas selanjutnya, mari melihat timbunan teman-teman yang lain, happy Monday! ๐Ÿ™‚

ย 

2013 · drama · Gagas Media · young adult

[Review] Melbourne – Winna Efendi

Terus terang, tahun 2013 merupakan tahun suram dalam dunia perbukuan saya, membaca buku apa saja rasanya kurang pas, apalagi mau ngeblog. Untungnya saya tidak salah pilih ketika membeli buku terbaru Winna, Melbourne berhasil dilalap dalam sekali duduk. Ah, betapa senangnya kembali merasakan kenikmatan membaca.

Melbourne. Rupanya Winna cukup berhasil mengambil setting kota yang dianugerahi ‘the world’s liveable city’, sehingga Melbourne menjadi salah satu kota impian yang ingin saya kunjungi. ๐Ÿ™‚

Image

Rumus Winna masih sama, berurusan dengan cinta pasangan dewasa muda, sedikit muram, sendu dan melankolis, apalagi ada soundtrack keren dan potongan lirik puitis yang mengiringi kisah Max dan Laura di sepanjang bab. A song tells the story of your life, there’s always a personal history attached to it.

Dibuka dengan adegan Max Prasetya *hey nama keluarga kita sama, Max* *ga penting kali ditulis, Mi* kembali ke kota di mana Laura berada, sang mantan pacar. Lima tahun sudah mereka berpisah, lima tahun sudah kisah mereka terkubur tanpa ada penyelesaian, dan kini bersama dengan sekelumit alunan musik, kita pembaca ikut larut untuk mengetahui apa yang salah dengan Max dan Laura, where did their love go?

What about some coffe?

Kalimat pembuka dari Max setelah mereka bertemu kembali, yang juga diucapkan saat awal mereka berkencan. Prudence, kafe favorit mereka bertahun silam, tempat mereka menghabiskan waktu berjam-jam talking about everything and nothing.

Saya seakan menjadi saksi hidup perjalanan Max – Laura, aduh lebay bener ini sik bahasanya, tapi saya tidak menemukan padanan yang pas, ah, atau begini, di saat Laura duduk dengan kaki terlipat sambil menyesap kopi marsmellow dengan Max yang tak henti memandang Laura, bayangkan saya duduk di pojok, ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Ya, saya bisa membayangkan adegan itu dan percakapan nostalgia mereka lengkap dengan alunan John Mayer terekam di kepala saya. Good job, Winna!

Dan seperti pertanyaan klise pada umumnya, bisakah mantan yang menorehkan sekian banyak kenangan hanya menjadi teman biasa saja?

Laura bisa saja bilang, ” So, we’re friends now”.ย  Rex, teman dekat Max mengagetkan Max dengan berkata, “Nggak ada yang namanya mantan deket terus balikan lagi, atau cowok dan cewek temenan tanpa rasa, atau seks. It’s biologically impossible. Human beings are just not built with that kind of sensibility, or resistance“.

Is it?

Ihiy, baca sendiri dong ya untuk membuktikan teori Max. Terlebih lagi kisah menjadi semakin rumit dengan hadirnya Evan, calon suami sahabat dekat Laura, yang ternyata memiliki selera musik yang sama dengan Laura.

Walau klimaks Melbourne saya rasa kurang menggigit, terasa sedikit terburu-buru di akhir dan saya lumayan gemes dengan tokoh Laura yang menurut saya sedikit ingin menang sendiri “don’t we all?* Ga akan rugi kok baca Melbourne, selain kita mau tak mau akan mencari daftar lagu yang dibuat penulis (terbukti dengan saya, yang sebelumnya mengalami hal serupa saat membaca Blue Romance), tulisan Winna ini adiktif! Tidak akan berhenti sebelum selesai. I love Maaax!! Dan ucapan Max saat mengajak Laura pacaran walau simpel sangat realistis dan romantis di saat yang bersamaan :’)

4 bintang untuk Max – Laura dan playlist pilihan Winna ๐Ÿ™‚

Winna Efendi - Melbourne
Winna Efendi – Melbourne

Kembali ke novel, proyek Gagas Setiap Tempat Punya Cerita saya akui keren! Selain tematik, kaver layak koleksi, terlebih lagi saya sudah bosan dengan kaver Gagas yang oke punya namun belakangan ini kaver serupa bertebaran di mana-mana. Monoton. Berbekal warna mencolok dan penulis-penulis pentolan membuat saya tergiur untuk membeli serinya yang lain. Menabung untuk membeli buku dan mari bekerja lebih giat untuk berlibur ke kota-kota lain. Roma, Paris, Bangkok, London. Yuk ah!