2014 · BBI · chicklit

Vivien’s Heavenly Ice Cream Shop – Abby Clements

Judulnya menarik, covernya cantik ya? 🙂

Vivien's Heavenly Ice Cream Shop
Vivien’s Heavenly Ice Cream Shop

Sekarang mari dilihat apakah isinya sesuai dengan penampakan yang menggoda layaknya gelato di bawah ini.

Pic from http://www.chrystal-clear.com
Pic from http://www.chrystal-clear.com

Berkisah tentang dua kakak adik Imogen dan Anna yang sifatnya beda macam langit dan bumi dan sedikit mengingatkan saya akan Anna dan Elsa di film Frozen. Imogen yang berjiwa lepas, hidup bebas tak ingin dikekang, sedangkan Anna suka memasak, serba teratur dan konvensional. Mereka ‘dipaksa’ berkumpul bersama ketika neneknya Vivien yang memiliki kedai es krim meninggal dunia dan menyerahkan semua peninggalan beserta kedainya kepada mereka berdua.

Masalah mulai muncul saat ada pihak keluarga yang tidak senang akan keputusan Vivien, layaknya kisah klasik pertarungan mempertahankan bangunan lama penuh nilai historis yang siap diganti oleh gedung yang jauh lebih menghasilkan uang, begitulah inti dari buku setebal 349 halaman. Diselingi dengan konflik kakak beradik maupun sepercik kisah cinta antara Matteo, pria Italia yang jatuh hati dengan Anna saat ia mengikuti kursus membuat gelato padahal Anna sendiri sudah menjalin hubungan dengan seorang duda.

Membaca Vivien’s Heavenly Ice Cream Shop bisa saya analogikan dengan menikmati semangkuk ice cream vanilla chocolate chip namun tanpa chipsnya. Yang kita pesan dan dinikmati tidak pas. Memang kisahnya mengalir dengan lancar namun tidak ada yang chocolate chips yang menggigit dan meninggalkan kesan spesial. Sungguh sayang semestinya konflik Imogen dan Anna bisa dihadirkan lebih dalam tidak hanya superficial saja. Saya tidak merasakan kedekatan hubungan kakak beradik mau pun hubungan cinta kilat yang terjalin di Italia, padahal di 2/3 belakang saya mengharapkan ada greget antara Anna dan Matteo yang membuat buku ini berkesan. Memang happy ending seperti vanilla ice cream, hanya saja manisnya berlalu tanpa kesan, cocok untuk bacaan saat menemani sunset di pantai atau saat lagi bepergian menunggu pesawat tanpa mengerutkan kening. 🙂

2 bintang untuk Imogen dan Anna dan beragam resep es krim yang ditambahkan di akhir kisah. Duh, kan, jadi pengin es krim ;p

Baca bareng Februari
Baca bareng Februari

Buku ini diposting dalam rangka posting bareng kuliner  BBI Februari 2014, mari lihat bacaan teman-teman yang lain di sini ya 🙂

2012 · chicklit · drama · Gramedia · love love love

I’ve Got Your Number – Sophie Kinsella

I've Got Your Number
I’ve Got Your Number

Buku terbaru Sophie Kinsella yang sudah lama saya tunggu dan ugh maafken saya Tante Kinsella,tapi sepertinya saya tidak berjodoh dengan I’ve got Your Number.

Sekilas sinopsis yang saya ambil dari Goodreads :

Cincin pertunanganku hilang… 😦 Padahal cincin itu sudah menjadi milik keluarga Magnus selama tiga generasi. Gimana dooong?! 😦

Gara-gara beberapa gelas sampanye di acara amal, hidup Poppy kacau-balau. Bukan saja cincinnya hilang pada hari dia akan bertemu dengan calon mertua, ponselnya pun ikut raib, padahal nomornya sudah dia sebarkan ke seluruh staf hotel yang ikut mencari cincin itu. Ketika dilanda kebingungan, tahu-tahu dia menemukan ponsel di tempat sampah. Aha! Karena sudah dibuang, ponsel itu jadi milik publik, bukan?

Sayangnya, si pemilik ponsel, Sam Roxton, tidak senang. Dia mau ponselnya kembali, dan dia sebal Poppy membaca pesan-pesannya serta ikut campur dalam hidupnya. Bayangkanlah betapa ruwet hidup Poppy di antara kesibukan mempersiapkan pernikahan, meneruskan SMS dan e-mail, juga menyembunyikan tangan kirinya dari Magnus serta orangtuanya..

What if the wrong number leads you to the right guy??

Kinsella tetap dengan formula lamanya yang acap kali berhasil. Tokoh utama : Poppy Wyatt yang panik gara-gara kehilangan cincin kawinnya sering kali bertindak bodoh yang kadang bikin gemes saya sebagai pembaca. Tidak cukup kesialannya kehilangan cincin, eh ponselnya raib! Padahal sebentar lagi orang tua Magnus akan datang. Keluarga Magnus adalah keluarga terpelajar nan absurd yang membuat nyali Poppy mengkeret karena pembicaraan kelas atas mereka.

Kekonyolan terjadi saat Poppy bermain scrabble bersama mereka.

“We’re playing Scrabble. It’s a nightmare.”
“Scrabble?” He sounds
surprised. “Scrabble’s great.”
“Not when you’re playing with a family of geniuses, it’s not. They all put words like ‘iridiums’. And I put ‘pig’.”

Banyak momen-momen yang membuat saya tersenyum-senyum sendiri, bahkan rata-rata teman di Goodreads memberikan bintang 4 untuk I’ve Got Your Number. Hanya saja menurut saya tidak ada yang baru yang ditawarkan di sini, Sophie Kinsella nyaman dengan gaya penceritaan macam begini dan bagi saya yang membaca hampir semua bukunya (bukan sebagai Madeleine Wickham) akhirnya merasa bosan. Kisah cerita mudah tertebak dan penulisan catatan kaki juga tidak membantu malahan mengganggu. Memang tujuan membeli chicklit bukan untuk bacaan yang berat-berat, yes I know.

Saya biasanya terhibur dengan kekonyolan tokoh ciptaan Sophie Kinsella, tapi di buku I’ve Got Your Number formulanya kurang berhasil, yang saya suka malah SMSan antara Poppy dan si ganteng Sam Roxton. Walau begitu untuk bacaan di akhir pekan yang ringan dan santai kisah si Poppy cukup menarik untuk mengisi waktu.

Sekilas video pengarang saat bercerita soal novel terbarunya. *perhatikan rak buku di balik Sophie Kinsella deh, warnanya unyuuk*

Cheers!

Gramedia, 576 halaman.

Cetakan I, Mei 2012.

PS : Gara-gara twit soal buku ini saya sempat ngobrol di twitter bersama teman-teman perihal pengarang yang formulanya begitu-begitu saja. Lama-lama malah bosan, contoh Dan Brown, Nicholas Sparks, Sidney Sheldon, Danielle Steel adalah nama-nama yang terbersit di otak saya. Mungkin itu gunanya kita memperluas bacaan kita tidak pengarang yang itu-itu saja, kalau pengarang belum bisa move on dengan zona nyaman, mungkin saya yang harus move on dengan pengarang-pengarang baru. Fenomena yang menarik, bisa dibahas kapan-kapan di blog (kalau tidak malas :p)

chicklit · not mine

Cocktails for Three – Madeleine Wickham

Tiga wanita cerdas dan sukses, bekerja di dunia majalah yang sibuk. Mereka bertemu untuk berbagi koktail dan gosip sebulan sekali.

Roxanne: glamor, percaya diri, memiliki kekasih gelap—dan berharap pria itu akan meninggalkan sang istri dan menikah dengannya.

Maggie: ambisius dan mumpuni dalam pekerjaan, hingga ia menemukan satu hal yang tak dapat diatasinya: menjadi ibu.

Candice: polos, baik hati, jujur—hingga suatu ketika hantu masa lalunya muncul dan mengacau-balaukan hidupnya.

Pertemuan tak disangka-sangka di bar koktail menggulirkan serangkaian peristiwa yang kemudian mengguncang kehidupan mereka dan mengancam akan menghancurkan persahabatan mereka yang unik.

Klub Koktail
Klub Koktail

Covernya cantik yaa 🙂

Klub Koktail adalah buku karangan alter ego dari Sophie Kinsella pertama yang saya baca. Walau Sophie Kinsella dan Madeleine Wickham adalah orang yang sama tapi gaya penceritaannya sangat berbeda. Sama-sama bergenre chicklit tapi Cocktails for Three terasa lebih gelap dan satir.

Cocktails for three berkisah tentang kehidupan 3 wanita yang sudah tidak muda lagi dengan masalahnya sendiri-sendiri walau benang merahnya sama. Rahasia.  Maggie yang bergulat dengan kekhawatirannya sebagai ibu, Roxanne yang disibukkan oleh hubungan gelap dengan suami orang dan Candice, tokoh yang paling ingin saya pentung kepalanya polos namun hampir kehilangan pekerjaan akibat teman SMAnya muncul dan mulai merongrong kehidupannya.

Secara sekilas memang tema persahabatan selalu menarik untuk diselami, sayangnya gaya penulisan Madeleine kurang greget dan berjiwa. Saya tidak merasakan kedekatan 3 wanita kosmopolitan sepanjang membaca Cocktail for Three. Karakternya mentah dan seakan berdiri sendiri.  Tidak tercermin hubungan pertemanan wanita yang hangat dan semarak. Untungnya konflik yang muncul lumayan ‘semarak’ dan membuat saya penasaran bagaimanakah kisah ini akan berakhir. Temanyapun cukup berat : isu motherhood, hubungan gelap dan kekacauan masa lalu yang muncul kembali.

Saya terkecoh dengan nama Sophie Kinsella yang kerap kali memunculkan tokoh wanita sedikit ‘bodor’ namun menarik. Kali ini tokohnya sih memang ada yang rada kacau tapi kurang menghibur namun untuk bacaan di kala senggang boleh juga buku Cocktails for Three ini dijadikan pilihan. Seusai membaca saya jadi kangen jaman kuliah dulu di mana bisa cerita ngalor ngidul dengan sahabat sambil menyesap kopi. Kebiasaan yang sudah langka karena kesibukan pekerjaan dan teman-teman yang sudah berpencar mulai dari di Bogor sampai Papua.

Oia, satu yang mengganggu entah apa yang ada di pikiran pengarang saat menuliskan kalimat pembukaan di saat Candice hendak bercinta dengan pasangannya. Saat Ed merengkuhnya dengan penuh tekad, berdiri dan membawanya ke dalam rumah, menaiki anak tangga, tungkai Candice segemetar anak sapi yang baru lahir. Heu… Kok ga ada romantis-romantisnya ya? Malah kebayang anak sapi 😀

Terima kasih mbak Ferina untuk pinjamannya 🙂

Detail buku : Coctail for Three / Klub Koktail

Pengarang : Madeleine Wickham

Gramedia, Cetakan I Juni 2011, 440 halaman.