Though more than sixty years have passed since this remarkable novel won the Pulitzer Prize, it has retained its popularity and become one of the great modern classics. “I can only write what I know, and I know nothing but China, having always lived there,” wrote Pearl Buck.
Haihai! Postingan kali ini dibuat dalam rangka baca bareng BBI, setelah ikutan listopia 1001 books that you should read before you die, kali ini teman-teman BBI sepakat untuk menjajal penulis Nobel untuk posting bareng. Setelah ditimbang-timbang saya memilih Pearl S. Buck yang kebetulan saya suka dan lagi buku The Good Earth yang tergeletak merana semenjana ingin dibaca. *tsah* Saya tidak salah pilih! Walau buku ini baru kelar jam 1 subuh tadi, 5 bintang untuk Wang Lung dan Pearl S. Buck tentunya. Berhubung ini review dibuat mepet sumepet langsung saja yuk kita time travel ke dataran Cina tahun 1920an awal eh apa 1930an ya, yang jelas sebelum meletusnya perang dunia kedua.

The Good Earth berkisah tentang jatuh bangun seorang petani miskin bernama Wang Lung, ia hidup bersama ayahnya. Di awal buku kita juga mengetahui Wang menikah dengan budak yang bekerja di rumah keluarga kaya bernama O Lan. Namanya budak tentu saja yang Wang dapatkan adalah seorang gadis berwajah biasa saja, kaki yang tidak diikat namun kelebihannya O Lan adalah wanita pekerja keras dan pintar masak. Wang Lung bekerja mati-matian untuk menghidupi ayahnya yang semakin tua apalagi ketika didengarnya O Lan mengandung.
“Wang Lung sat smoking, thinking of the silver as it had lain upon the table. It had come out of the earth, this silver, out of the earth that he ploughed and turned and spent himself upon. He took his life from the earth; drop by drop by his sweat he wrung food from it and from the food, silver. Each time before this that he had taken the silver out to give to anyone, it had been like taking a piece of his life and giving it to someone carelessly. But not for the first time, such giving was not pain. He saw, not the silver in the alien hand of a merchant in the town; he saw the silver transmuted into something worth even more than life itself – clothes upon the body of his son.”
Sebelum lanjut quote di atas sengaja saya cantumkan, walau tidak dengan bahasa berbunga-bunga, Pearl S. Buck dengan pas menyiratkan makna tanah dan anak dari Wang Lung, apalagi kalau membaca langsung bukunya, ah saya merasa malu dengan hidup saya yang sedemikian pemalasnya dibanding dengan Wang Lung yang begitu mencintai tanahnya, terus bekerja tanpa henti.
Tahun terus berlalu, kelaparan hebat melanda Cina tapi Wang Lung sekeluarga mampu melewatinya setelah mengungsi, Wang tidak bertahan lama di tempatnya yang baru karena ia terus memikirkan tanahnya. Setelah dirasanya memiliki uang yang cukup ia kembali ke desa dan bekerja lebih giat lagi. Kaya dan semakin kaya. Akhirnya Wang Lung berhasil menabung keping perak dan emas dalam jumlah yang banyak.
Wang Lung tetap ingin lebih kaya lagi dan repotnya ia terperosok di tempat yang sangat wajar ketika pria sedang di puncak kejayaan. Wanita. Petani lugu sudah tidak ada lagi, Wang mulai mampir ke rumah bordil dan jatuh hati dengan perempuan berkulit halus, kaki mungil, mata besar macam buah aprikot bernama Lotus.
Sampai di sini cerita mulai semakin menarik dan untuk selanjutnya lebih enak jika dibaca sendiri *alesanwaktupostingmakinmepet* :p Selain saya tidak ingin menebar spoiler sensasi membaca karya Pearl S. Buck itu harus dinikmati pelan-pelan. Jangan harap ada klimaks yang membuat jantung kita berdebar-debar atau gemes pengen mites akan satu tokoh. Semua dibeberkan pelan, pelan dan pelan, itu juga sebabnya waktu yang saya butuhkan untuk membaca bagian awal sampai tengah juga tersendat-sendat. Tapi kita seakan ikut menjadi saksi hidup kehidupan Cina jaman itu, bagaimana saat kelaparan melanda, betapa timpangnya harga laki-laki dan perempuan dan ikut terbuai saat bau candu menguar di rumah keluarga kaya.
Sampai akhir buku pertama saya sendiri tidak menyangka akan memberikan bintang lima, tapi perasaan hangat dan kisah yang sedikit menggantung meninggalkan bekas yang dalam di hati. Jelas-jelas The Good Earth adalah salah satu dari 10 buku terbaik yang saya baca untuk tahun ini.

The Good Earth adalah buku pertama dari trilogi House of Earth, buku kedua dan ketiga sudah diterjemahkan oleh Gramedia dengan judul Wang si Macan selanjutnya disusul dengan Runtuhnya Dinasti Wang. Mau saya cari ah lanjutannya.
The Good Earth diterbitkan tahun 1931, memenangkan Pulitzer tahun 1932 dan meraih Pearl S. Buck meraih Nobel tahun 1938 yang menurut new York Times diberikan ‘for her rich and truly epic descriptions of peasant life in China and for her biographical masterpieces’.
