drama

And the Mountains Echoed – Khaled Hosseini

Book hangover! Duh, dan penyakit saya kalau sudah begini bakal malas review pada akhirnya :p Buku ketiga Khaled Hosseini sudah ada di rak saya beberapa bulan setelah terbit, tapi selalu saja hati ini belum siap diluluhlantakkan oleh beliau. (((luluh lantak))) Sampai akhirnya minggu lalu saya kehabisan bacaan, semua buku yang saya baca kok ga pas, padahal butuh bacaan untuk teman baca selama di pesawat dan tanpa ragu saya membawa Mountains Echoed, Khaled Hosseini tidak pernah salah kan yes?

*bok panjang bener pembukaannya*

Jadi begitulah, hari Sabtu kemarin hari yang tepat untuk menghabiskan buku yang naga-naganya bakal bikin mata sembab dan benar saja saya tidur dengan mata bengkak, megap-megap susah napas gegara hidung buntu. Saya tidak akan bercerita banyak soal beberapa kisah yang saling terkait di Mountains Echoed, dengan alur flash back, beberapa bab dengan point of view yang berbeda, settingan mulai dari Paris, desa kecil Afganistan, sampai Yunani, terlalu luas dan sepertinya lebih enak dibaca sendiri.

Pari - Abdullah
Pari – Abdullah

Mountains Echoed sudah memikat sedari awal saat ibu dua bersaudara Abdullah dan Pari menceritakan dongeng sebelum tidur kepada mereka berdua. Dongengnya saja sudah bisa jadi satu cerita pendek yang tak terlupakan. Inti kisah Mountains Echoed adalah perpisahan Abdullah dan Pari karena Pari dijual oleh pamannya sendiri kepada pasangan Wahdati, keluarga kaya di Kabul. Selang waktu dan benua, kita akan diajak berkelana sambil tertatih karena irisan maut Khaled Hosseini. Tidak ada yang hitam putih di Mountains Echoed, tidak seperti Thousand Splendid Suns yang agak sinetro-ish dalam hal yang baik, yang tertindas dan si jahat, karakter di Mountains Echoed lebih abu-abu, lebih kompleks, lebih manusiawi sehingga tak mudah kita menghakimi betapa jahatnya si Paman yang memisahkan Adbullah – Pari, kita bisa membenci sekaligus mencintai karakter-karakter yang ada di Mountains Echoed. Sehingga mau tak mau saya mengiyakan beberapa pendapat yang menyatakan novel ketiga Khaled Hosseini adalah novel yang paling ambisius, paling kompleks.

Satu yang saya sadari adalah betapa ‘gifted’nya Khaled Hosseini , ia mampu mengiris-iris begitu dalam hati pembaca sedemikian pelannya sehingga pada saat anda menutup buku baru tersadar hati sudah ambrol pecah berkeping-keping #halah. Maaf sedikit lebay tapi memang itu yang saya rasakan, karena sudah pengalaman nangis bombay di depan umum saat antri di dokter saat membaca Thousand Splendid Suns, kali ini membacanya lebih penuh persiapan, saat membalikkan halaman demi halaman kapan nih si tokoh mulai mengalami kejadian yang bikin nangis, seperti apa ya, ah seperti menonton Jaws. Kita selalu tahu ada hiu yang mengintai, tinggal menunggu kapan aja munculnya xD

“When you have lived as long as I have,” one character says, “you find that cruelty and benevolence are but shades of the same color.”

5 bintang!*antengmenunggubukuKhaledHosseiniberikutnya* buat yang belum baca, yuk baca buruan dan share dengan saya di sini. 🙂 Cheers!

drama

Still Alice – Lisa Genova

Alice Howard, seorang profesor Linguistik di Harvard berusia lima puluhan, memiliki karir cemerlang, suami yang juga seorang profesor Biologi dan memiliki 3 anak yang ‘hampir jadi’ semua, ada yang dokter, pengacara dan si bungsu yang paling sering adu mulut dengan Alice karena paling nyeleneh, ingin menjadi seorang artis. Kalau berdasar filosofi hidup bapak saya nih, hidupnya sem-pur-na.

Ya, awalnya memang terasa sempurna sampai suatu ketika saat Ali mengajar ia lupa satu kata yang baru diingatnya setelah berjam-jam kemudian. Lain waktu di saat Ali bercakap-cakap dengan anaknya tanpa sadar Ali bertanya hal yang sama selang waktu semenit saja, alhasil yang ada si anak gondok karena dipikirnya si Ibu tidak menyimak.
Hal-hal aneh mulai menimpa Ali hari demi hari, minggu demi minggu, dari hal yang simpel seperti di atas, kelupaan blackberry, kelupaan harus naik pesawat, sampai saat Ali lari pagi dan ia panik ia ada di mana, ya dia familiar dengan tempat itu, di lingkungan Harvard dekat rumahnya, tapi di satu sisi anehnya ia tidak bisa menemukan rumahnya sendiri.

Duh, miris deh baca buku ini >.<

Still Alice
Still Alice

Alzheimer’s disease is an irreversible, progressive brain disease that slowly destroys memory and thinking skills and, eventually even the ability to carry out the simplest tasks of daily living.

Awalnya Ali menyangka dirinya gejala menopause, setelah menjalani beberapa tes, barulah Ali mendapati bahwa ia menderita Alzheimer.

“And I have no control over which yesterdays I keep and which ones get deleted. This disease will not be bargained with. I can’t offer it the names of the US presidents in exchange for the names of my children. I can’t give it the names of state capitals and keep the memories of my husband.

…My yesterdays are disappearing, and my tomorrows are uncertain, so what do I live for? I live for each day. I live in the moment. Some tomorrow soon, I’ll forget that I stood before you and gave this speech. But just because I’ll forget it some tomorrow doesn’t mean that I didn’t live every second of it today. I will forget today, but that doesn’t mean that today doesn’t matter.”

Trus mewek pas percakapan di bawah ini huhuhuhu.

“You’re so beautiful,” said Alice. “I’m afraid of looking at you and not knowing who you are.”
“I think that even if you don’t know who I am someday, you’ll still know that I love you.”
“What if I see you, and I don’t know that you’re my daughter, and I don’t know that you love me?”
“Then, I’ll tell you that I do, and you’ll believe me.”

Inti dari buku yang ditulis oleh Lisa Genova, profesor neuroscientist Harvard adalah perjuangan dari seorang penderita Alzheimer, yang semakin lama semakin kehilangan identitas dirinya karena bagaimana pun juga Alice Howard is Still Alice, dan buku ini sungguh sayang dilewatkan, emotional, gripping, powerfull, highly research, duh gimana ya, kalau saya ini tipe buku yang setelah selesai dibaca seakan ingin meracuni semua orang untuk ikut membacanya.

Still Alice adalah buku Lisa Genova pertama yang saya baca dan tentunya bukan yang terakhir.

Sudah pada nonton filmnyakaah? Yuk bagi-bagi pengalaman menontonnya, saya belum sempat >.<

drama

What Alice Forgot – Liane Moriarty

Katanya hidup tak lebih dari kepingan-kepingan memori. Apa yang terjadi jika kepingan terbesar dalam hidupmu lenyap tak berbekas?

Kosong? Hampa? Atau malah mengubahmu menjadi pribadi yang baru?

Alice, seorang wanita yang terjadi saat berolah raga mengalami amnesia masih menjadi formula ampuh dalam novel ataupun film yang membuatnya kehilangan memori 10 tahun terakhir. Tahun 2008 alih-alih diingatnya 1998. Saat ia baru saja mengandung anak pertama dari suaminya, Nick.

What Alice Forgot
What Alice Forgot

Apa yang terjadi dalam 10 tahun hidup Alice?

  • Ia memiliki teman-teman baru yang tidak ia kenal, bahkan tak yakin ia bisa bersahabat dengan mereka?
  • Nick menjadi sangat ketus dan baru ia sadari beberapa saat kemudian kalau mereka sedang dalam proses perceraian.
  • Hubungan dengan Elizabeth kakaknya tak lagi menjadi hangat seperti dulu.
  • Alice dan Nick memiliki 3 orang anak. Dan ia tak mengenal satu pun dari mereka.

Perfect.

Sempurna untuk sebuah novel drama yang tidak terlalu mendayu-dayu menghanyutkan. Konfilk yang dipapar cukup stabil, hubungan Alice dan Nick terasa pas, mungkin akan lebih pas lagi jika pembaca novel ini sudah menikah lebih dari 5 tahun, lebih ‘kena’. Saya suka dengan tingkah laku anak-anak mereka, cerita sampingan Elisabeth dan suaminya juga tidak terlalu melenceng dari alur cerita.

Tidak sebagus Husband’s Secrets tapi okelah. 3,5 dari 5 bintang. Cocok untuk bacaan ringan akhir pekan.

Beberapa quote favorit saya :

“The medication, the hormones and the relentless frustrations of our lives make us bitchy and you’re not allowed to be bitchy in public or people won’t like you.”

dan

“But maybe every life looked wonderful if all you saw was the photo albums.”

Yuk, sekarang mari ubek-ubek rak thriller.

#belummoveondariGillianFlynn

2014 · BBI · drama · ebook · Middle Grade · must read

The One and Only Ivan – Katherine Applegate

Sebelum saya bercuap-cuap mengenai siapakah Ivan dan betapa bagusnya buku ini, ada baiknya kita melihat book trailernya sejenak yuk!

Bagaimana? Menarik kan? Walau bekson lagunya lumayan menyayat hati dan ceritanya juga sih tapi buku pemenang Newberry Medal 2013 sangat sayang dilewatkan lho.

Saya sudah menyukai buku ini sejak halaman pertama, dibuka dengan bab berjudul hello.

hello
hello Ivan!

People call me the Freeway Gorilla. The Ape of Exit 8. The One and Only Ivan, Mighty Silverback.

The names are mine but they’re not mine. I am Ivan, just Ivan, only Ivan.

Humans waste words. they toss them like banana peels and leave them to rot.

Everyone knows the peels are the best part.

I suppose you think gorrilas can’t understand you. Of course, you also probably think we can’t walk upright.

Try knuckle walking for an hour.  You tell me. which way is more fun?

Sengaja saya mengetik ulang chapter selanjutnya untuk mengenalkan kepada pembaca bagaimana Katherine Applegate sedemikian piawainya menyuarakan Ivan, seekor gorila yang pintar namun kesepian. Di beberapa bagian pengarang seolah ingin menyadarkan dan mengingatkan kembali, hei manusia, janganlah serakah dan kasihilah sesama mahluk ciptaanNya.

Ivan tinggal di dalam mall dan hidup bersama teman baiknya Stella, seekor gajah dan Bob si anjing yang tak bertuan. Ivan dan Stella bertugas rutin 3 kali sehari 365 hari di antara riuhnya suara carrousel, monyet dan pengisi sirkus lainnya. Ivan suka menggambar, bahkan sering kali lukisannya laku terjual. Adalah Julia, anak penjaga kandang yang menjadi sahabat Ivan, Bob dan Stella yang mengamati kebiasaan Ivan, sehingga ia sering memberikan kertas dan krayon baru untuk Ivan. Berkat Julia jugalah hobi Ivan ini berperan penting dalam kelanjutan nasib mereka yang mulai berubah sejak kedatangan Ruby, seekor bayi gajah.

Ivan sebagai seekor silverback yang harus menjaga keluarganya, ketika masalah menimpa Ruby dan janjinya dengan Stella harus ditepati, mampukah Ivan menyelamatkan keluarganya hanya dengan hobi yang ia punya yang tak lain tak bukan adalah menggambar?

Seperti apa kelanjutan kisah Ivan, Ruby dan kawan-kawan? Saya tidak melanjutkan demi mencegah kenikmatan pembaca, yang jelas buku ini ditulis dengan narasi yang sangat sederhana namun begitu membekas. Banyak juga yang mengkategorikan The One and Only Ivan sebagai buku penguras air mata >.<

The Real Ivan
The Real Ivan

Sedikit info yang ingin saya tambahkan tokoh Ivan diambil dari gorila silverback yang hidup di Atlanta Zoo dan memang senang menggambar. Ivan diambil sejak kecil dari komunitasnya di Congo dan hidup bersama manusia sampai ia tidak bisa ditangani lagi kemudian diserahkan ke sirkus. Informasi mengenai Ivan bisa dilihat di theoneandonlyivan.com

Salut banget kepada penulis yang sepertinya memang cinta banget kepada binatang, terlihat dari buku karangannya rata-rata pasti bertema binatang.

Salah satu buku terbaik yang membuka bacaan saya di Januari 2014. 4 bintang. Adakah yang sudah membacanya dan siapakah yang menjadi tertarik membaca buku ini? Sharing di sini bersama saya ya dan jangan meninggalkan spoiler 🙂

PS. Buku ini dibaca dalam rangka membaca bareng fabel bersama BBI bulan Januari 2014.

postingbarengBBI2014_zps79d76ac0

drama · young adult

Just One Day – Gayle Forman

Houla! Beberapa lalu melihat percakapan Non Aul dan Non Ziy tentang review marathon yang seharusnya berlangsung sejak kemarin, tapi ternyata kemarin saya seharian tidak pegang laptop 😀 So, mari berjibaku pagi ini mengerjakan pr review dan we’ll see berapa review yang bisa saya kerjakan. Buku pertama yang hendak saya review adalah Just One Day buku dari pengarang If I Stay, Gayle Forman.

Buku pertama yang kelanjutannya sudah terbit (Just One Year) ternyata ratingnya lumayan tinggi di Goodreads, 4 lebih bahkan. Tersebutlah seorang gadis bernama Allyson yang sedang tour ke Eropa bersama sahabatnya Melanie, dua sahabat ini selayaknya abg macam saya dulu normal mangkir dari yang seharusnya mereka lakukan. Bukan teater yang dilihat melainkan pertunjukan di jalanan yang membuat Allyson berkenalan dengan aktor bernama Willem.

Willem di sini digambarkan pria ganteng, berjiwa bebas dan membuat Allyson lupa diri, di mana biasanya Allyson hidup teratur dan tertata mendadak bertemu Willem, seakan ia bertransformasi menjadi jiwa baru. Ia juga memiliki nama baru. Lulu. Dan hanya dengan perkenalan kilat itu, Allyson Lulu manut saja diajak berkeliling Paris dalam sehari. Paris, salah satu kota paling romantis di dunia dan Willem, tentu saja pengalaman tak terlupakan yang dialami Lulu.

Seperti judulnya, Just One Day, kebahagiaan Lulu hanya bertahan sehari karena keesokan paginya Willem hilang tanpa jejak. Jreng jreng. Kisah berlanjut di bab kedua buku yang menceritakan setahun kehidupan Allyson pasca Paris dan Willem. Ia tidak lagi menjadi Allyson yang dulu, dari yang saya baca Allyson kini lebih tertutup dan skeptis dalam hidup sampai ia menemukan binar kehidupannya lagi dalam kelas drama Shakespeare. Walau pertanyaannya dan pertanyaan pembaca belum terjawab sampai akhir. Dapatkan ia bertemu kembali dengan Willem? Ke manakah ia menghilang pagi itu dan apa alasannya?

Huft. Entah apa yang salah dengan buku ini atau saya sebagai pembaca karena saya sama sekali tidak merasakan kedekatan emosi dengan para tokohnya. Allyson, Melanie, lebih lagi Willem. Sekilas buku ini mirip dengan Before Sunset di mana kamu akan bertemu belahan jiwamu secara tidak sengaja dan puff semua seakan memudar hanya ada kita dan pasangan yang bagaikan potongan puzzle yang langung klik. Saya bisa mengerti Allyson bisa jatuh cinta dengan Willem, tapi Willem? Apa yang membuatnya jatuh cinta dengan Ally? Apakah gara-gara potongan rambut bobnya? Tidak saya dapat di sini. Mungkin memang saya harus membaca Just One Year yang diambil dari sudut pandang Willem untuk mengerti itu.

Just One Day Just One Year
Just One Day Just One Year

2 bintang untuk Allyson dan Willem dari Mia yang masih belum percaya dengan adanya cinta kilat dan sejati. *wink*

2013 · drama · must read

[Review] The Light Between Oceans – M. L. Stedman

Hola! Begini deh penyakit orang sok sibuk, blog terbengkalai berbulan-bulan, kalau tidak digerakkan oleh buku berbintang lima bisa jadi blog ini tidak tersentuh. Jadi, buku siapakah gerangan yang sanggup merontokkan kemalasan saya? Tidak lain tidak bukan adalah The Light Between Oceans, buku terbaik tahun 2012 versi Goodreads.

Image

Tom Sherbourne, released from the horrors of the First World War, is now a lighthouse keeper, cocooned on a remote island with his young wife Izzy, who is content in everything but her failure to have a child.

One April morning, a boat washes ashore carrying a dead man – and a crying baby. Safe from the real world, Tom and Izzy break the rules and follow their hearts.

It is a decision with devastating consequences.

This is a story about right and wrong and how sometimes they look the same.

Stedman menggiring pembaca untuk melihat kisah Tom – Izzy dari beberapa sudut pandang, sehingga tagline yang dipakai The Light Between Oceans di atas sangat pas untuk buku ini. Tom, seorang pria yang digambarkan sangat polos namun memendam banyak kepahitan, hidupnya menjadi berwarna sejak menikah dengan Isabel. Mereka hidup bahagia walau di tempat terpencil, di Janus Rock sembari Tom menjadi penjaga mercusuar. Namun kebahagiaan mereka terkikis perlahan seiring dengan keguguran demi keguguran yang dialami Isabel.

Dan out of the blue, di suatu hari Tom dan Isabel mendapati sekoci yang berisi 2 penumpang, seorang pria yang telah meninggal dan bayi perempuan. Bayi. Perempuan! Isabel yang baru beberapa saat lalu keguguran ternyata mampu menyusui. Awalnya hanya demi menyelamatkan bayi dari hipotermia, namun siapa yang bisa menandingi kebahagian wanita menggendong bayi? Isabel merasa utuh sebagai manusia dan menganggap bayi ini adalah hadiah dari Tuhan, ia berkeras ingin mempertahankan walau Tom masih ragu-ragu, namun demi Isabel akhirnya Tom menguburkan laki-laki tak dikenal itu.

Lucy, nama yang mereka berikan untuk sang bayi. Lucy, kehadirannya mengubah segalanya.

Di sisi kota yang lain, Hannah Roennfelt masih berusaha mencari kabar suami dan anaknya yang hilang. Sampai suatu ketika Tom dan Isabel malah bertemu langsung dengan Hannah. Kesedihan, kebingungan, wajah tirus dan mata kosong menghantui Tom. Akankah ia mengakui kesalahan yang ia lakukan beberapa waktu lalu? Walau itu artinya mengorbankan kebahagiaan Isabel atau lebih lagi membahayakan mereka keselamatan mereka berdua?

What happens next will break your heart.

Dijamin.

Saya tidak akan memperpanjang review di atas karena tentunya akan mengganggu kenikmatan membaca. Yang jelas saya mengerti kenapa The Light Between Oceans menjadi buku pilihan pembaca, semua tampak abu-abu di sini, benarkah? Salahkah? Anda sendiri yang menilai dan saya di sini sebagai pembaca yang belum merasakan jadi ibu pun terenyuh melihat pergumulan Isabel dan Hannah. Kekosongan hati Hannah, kegalauan Tom, keputusasaan Isabel diangkat dengan baik oleh Stedman, bahasanya yang puitis dan nyata sukses membius saya.

Seperti kalimat di bawah ini :

“When he wakes sometimes from dark dreams of broken cradles, and compasses without bearings, he pushes the unease down, lets the daylight contradict it. And isolation lulls him with the music of the lie.”
 
atau ini :
 
“Humans withdraw to their homes, and surrender the night to the creatures that own it: the crickets, the owls, the snakes. A world that hasn’t changed for hundreds of thousands of years wakes up, and carries on as if the daylight and the humans and the changes to the landscape have all been an illusion.”
 
Kabar terbaru menurut THR, TLBO akan segera diangkat ke layar lebar. Can’t wait!
2013 · drama · Gagas Media · young adult

[Review] Melbourne – Winna Efendi

Terus terang, tahun 2013 merupakan tahun suram dalam dunia perbukuan saya, membaca buku apa saja rasanya kurang pas, apalagi mau ngeblog. Untungnya saya tidak salah pilih ketika membeli buku terbaru Winna, Melbourne berhasil dilalap dalam sekali duduk. Ah, betapa senangnya kembali merasakan kenikmatan membaca.

Melbourne. Rupanya Winna cukup berhasil mengambil setting kota yang dianugerahi ‘the world’s liveable city’, sehingga Melbourne menjadi salah satu kota impian yang ingin saya kunjungi. 🙂

Image

Rumus Winna masih sama, berurusan dengan cinta pasangan dewasa muda, sedikit muram, sendu dan melankolis, apalagi ada soundtrack keren dan potongan lirik puitis yang mengiringi kisah Max dan Laura di sepanjang bab. A song tells the story of your life, there’s always a personal history attached to it.

Dibuka dengan adegan Max Prasetya *hey nama keluarga kita sama, Max* *ga penting kali ditulis, Mi* kembali ke kota di mana Laura berada, sang mantan pacar. Lima tahun sudah mereka berpisah, lima tahun sudah kisah mereka terkubur tanpa ada penyelesaian, dan kini bersama dengan sekelumit alunan musik, kita pembaca ikut larut untuk mengetahui apa yang salah dengan Max dan Laura, where did their love go?

What about some coffe?

Kalimat pembuka dari Max setelah mereka bertemu kembali, yang juga diucapkan saat awal mereka berkencan. Prudence, kafe favorit mereka bertahun silam, tempat mereka menghabiskan waktu berjam-jam talking about everything and nothing.

Saya seakan menjadi saksi hidup perjalanan Max – Laura, aduh lebay bener ini sik bahasanya, tapi saya tidak menemukan padanan yang pas, ah, atau begini, di saat Laura duduk dengan kaki terlipat sambil menyesap kopi marsmellow dengan Max yang tak henti memandang Laura, bayangkan saya duduk di pojok, ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Ya, saya bisa membayangkan adegan itu dan percakapan nostalgia mereka lengkap dengan alunan John Mayer terekam di kepala saya. Good job, Winna!

Dan seperti pertanyaan klise pada umumnya, bisakah mantan yang menorehkan sekian banyak kenangan hanya menjadi teman biasa saja?

Laura bisa saja bilang, ” So, we’re friends now”.  Rex, teman dekat Max mengagetkan Max dengan berkata, “Nggak ada yang namanya mantan deket terus balikan lagi, atau cowok dan cewek temenan tanpa rasa, atau seks. It’s biologically impossible. Human beings are just not built with that kind of sensibility, or resistance“.

Is it?

Ihiy, baca sendiri dong ya untuk membuktikan teori Max. Terlebih lagi kisah menjadi semakin rumit dengan hadirnya Evan, calon suami sahabat dekat Laura, yang ternyata memiliki selera musik yang sama dengan Laura.

Walau klimaks Melbourne saya rasa kurang menggigit, terasa sedikit terburu-buru di akhir dan saya lumayan gemes dengan tokoh Laura yang menurut saya sedikit ingin menang sendiri “don’t we all?* Ga akan rugi kok baca Melbourne, selain kita mau tak mau akan mencari daftar lagu yang dibuat penulis (terbukti dengan saya, yang sebelumnya mengalami hal serupa saat membaca Blue Romance), tulisan Winna ini adiktif! Tidak akan berhenti sebelum selesai. I love Maaax!! Dan ucapan Max saat mengajak Laura pacaran walau simpel sangat realistis dan romantis di saat yang bersamaan :’)

4 bintang untuk Max – Laura dan playlist pilihan Winna 🙂

Winna Efendi - Melbourne
Winna Efendi – Melbourne

Kembali ke novel, proyek Gagas Setiap Tempat Punya Cerita saya akui keren! Selain tematik, kaver layak koleksi, terlebih lagi saya sudah bosan dengan kaver Gagas yang oke punya namun belakangan ini kaver serupa bertebaran di mana-mana. Monoton. Berbekal warna mencolok dan penulis-penulis pentolan membuat saya tergiur untuk membeli serinya yang lain. Menabung untuk membeli buku dan mari bekerja lebih giat untuk berlibur ke kota-kota lain. Roma, Paris, Bangkok, London. Yuk ah!

2013 · drama · Gramedia · love love love · must read · tears

[Review] Me Before You – Jojo Moyes

Sigh. Susahnya mereview bintang 5, apalagi macam Me Before You tanpa spoiler. Jadi begini, saya percaya yang namanya buku itu kadang ‘memanggil’ pembacanya. Buku juga memiliki jiwa untuk mengetahui siapa pembaca yang tepat untuknya. Bentar, bentar, kok jadi horror? Ah, tapi teman-teman mengerti maksud saya kan? Saya lupa asal muasal bisa tertarik dengan buku ini, one click leads to another sepertinya, dan ketika adik saya pergi ke luar, saya dengan pedenya nitip dibelikan Me Before You. Covernya cantik, rating lumayan, dan siapa itu Jojo Moyes saya juga ga kenal. *sok kenal dengab penulis, padahal baru kenal dengan Agustinus Wibowo doang*

Me Before You
Me Before You

Yuk lanjut, Me Before You berhasil saya lalap dalam waktu 2 hari, pertengahan menitikkan air mata sedikit, 2/3 ke belakang mulai tes-tes-tes, bagian belakang mewek sampai mata bengkak dan merah. Memang saya lebay, gampang menangis, dan yang saya tekankan di sini bukan buku ini sedemikian sedihnya hingga perlu tissue saat membacanya tapi bagaimana kehebatan Jojo Moyes menciptakan karakter-karakter yang hidup. Sangat hidup. Buku ini sudah saya beberapa bulan lalu, namun sampai sekarang saat saya menulis review masih terbayang-bayang. Jarang-jarang saya ingin baca ulang buku, tapi Me Before You yang jelas menjadi kandidat buku favorit tahun 2013 adalah satu di antaranya.

Sinopsis dari bagian belakang buku:

Lou Clark knows lots of things. She knows how many footsteps there are between the bus stop and home. She knows she likes working in The Buttered Bun tea shop and she knows she might not love her boyfriend Patrick.

What Lou doesn’t know is she’s about to lose her job or that knowing what’s coming is what keeps her sane.

Will Traynor knows his motorcycle accident took away his desire to live. He knows everything feels very small and rather joyless now and he knows exactly how he’s going to put a stop to that.

What Will doesn’t know is that Lou is about to burst into his world in a riot of colour. And neither of them knows they’re going to change the other for all time.

Bukan dalam rangka ikut-ikutan Uni bicara soal takdir *disepak*, takdir menemukan Lou dan Will dalam suatu kejadian tak terduga. Will yang dulunya petualang, playboy, businessman sukses bukanMrGrey, siapa sangka nasibnya berubah drastis ketika kecelakaan sepeda motor. Will menjadi lumpuh (quadriplegic), ia tak lagi bisa melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain, sudah 2 tahun Will bertahan. Kesabaran orang ada batasnya, begitu kata pepatah. Will lelah dan ketika Will menghubungi Dignitas (a group that helps those with terminal illness and severe physical and mental illnesses to die assisted by qualified doctors and nurses), pembaca sudah bisa membaca ke mana arah cerita ini. Lou, gadis eksentrik, gemar berbusana antik dipecat dari kerjaannya dan seperti saya bilang tadi, takdir menyatukan mereka berdua, Lou butuh uang dan ibu Will melihat sesuatu yang tak biasa dalam diri Lou sehingga beliau menggaji Lou sebagai asisten Will, walau ada niat yang lebih besar di balik itu. 

Bagaikan dua kutub magnet *tsaahbahasagueeeh* chemistry Will yang pesimis dengan hidup dan Lou yang begitu polos namun sesekali meledak-ledak menjadi kekuatan novel Me Before You. Lou mengajak Will melihat dunianya dari sisi seorang gadis lugu yang tidak pernah bermimpi muluk-muluk sedangkan Will yang hari lepas hari menyadari ada potensi yang besar dari Lou.

Saya ikut bangga dan senang ketika perlahan tapi pasti Will yang lelah dengan hidup mulai membuka diri dan Lou yang slebor, mudah dibully mulai berani bermimpi. Banyak adegan mengharukan yang muncul terlebih lagi saat ulang tahun Lou. Dan ketika semua berjalan baik-baik saja, kita tahu yang ada di halaman berikutnya pastilah ada sesuatu. Lou dan Will jatuh cinta, mampukah cinta Lou membangkitkan nafsu hidup Will?

“I kissed him, trying to bring him back. I kissed him and let my lips rest against his so that our breath mingled and the tears from my eyes became salt on his skin, and I told myself that, somewhere, tiny particles of him would become tiny particles of me, ingested, swallowed, alive, perpetual. I wanted to press every bit of me against him. I wanted to will something into him. I wanted to give him every bit of life I felt and force him to live.”

Sesuatu yang lebih dari sekadar apakah buku ini akan berakhir bahagia atau tidak. Pembaca akan diajak berpikir lebih jauh tentang hidup oleh Jojo Moyes tanpa terkesan menggurui. Seberapa berarti hidupmu? Masih berarti ketika kamu tidak lagi bisa mengerjakan apa pun? Boleh jadi kita berpikir betapa bodohnya Will, tapi Jojo Moyes juga menunjukkan bagaimana berat hidup yang sepenuhnya dan seumur hidupnya bergantung dari orang lain. Tidak ada yang benar dan yang salah. Dan saya menutup buku ini dengan hati sesak namun saya juga merasakan gelenyar hangat di dada.

“You only get one life. It’s actually your duty to live it as fully as possible.”

Petuah Will di bawah ini sangat menggetarkan hati saya.

“Push yourself. Don’t settle. Wear those stripy legs with pride. And if you insist on settling down with some ridiculous bloke, make sure some of this is squirreled away somewhere. Knowing you still have possibilities is a luxury. Knowing I might have given them to you has alleviated something for me.”

Sebelum Mengenalmu
Sebelum Mengenalmu

Me Before You sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia juga lho, saya belum cek tapi dari beberapa teman saya dengar bahwa harganya lumayan. Oh well, untuk mengenal Will dan Lou dan merasakan rollercoaster emosi saat membacanya saya pikir harga yang ditawarkan pasti sesuai. Wajib baca. You’ll gonna love this book, bagi yang ga nangis, uang kembali! #lah

Oia, satu quote lagi yang ingin saya bagikan, ketika Lou dan Will pulang berkencan.

 “I turned in my seat. Will’s face was in shadow and I couldn’t quite make it out.
‘Just hold on. Just for a minute.’
‘Are you all right?’ I found my gaze dropping towards his chair, afraid some part of him was pinched, or trapped, that I had got something wrong.

‘I’m fine. I just . . . ’
I could see his pale collar, his dark suit jacket a contrast against it.
‘I don’t want to go in just yet. I just want to sit and not have to think about . . . ’ He swallowed.
Even in the half-dark it seemed effortful.
‘I just . . . want to be a man who has been to a concert with a girl in a red dress. Just for a few minutes more.’
I released the door handle.
‘Sure.’
I closed my eyes and lay my head against the headrest, and we sat there together for a while longer, two people lost in remembered music, half hidden in the shadow of a castle on a moonlit hill.”

OMG. :’)

Udah deh, pokoknya harus baca buku me Before You, ya ya ya? Tidak akan menyesal, saya bahkan saat menulis review ini hati bagaikan ditujes-tujes dan ingin mengulang. Huks.

Sudah ah, pamit semuanya, jangan lupa kabari saya kalau sudah baca #teteplho #mustinyangelamarjadimarketinggramed #plak

2013 · drama · inspiring · Middle Grade · must read

[Review] Wonder – R. J. Palacio

Don’t judge a book by its cover. Familiar, yes? Bagaimana dengan don’t judge a boy by his face?

Wonder
Wonder

Lahir dengan kelainan Mandibulofacial Dysostosis, sebuah kondisi rumit
yang membuat wajahnya tampak tidak biasa walau sudah menjalani sepuluh kali operasi. August diperkenalkan langsung kepada pembaca melalui prolog berjudul ‘biasa’.

Aku tahu aku bukan anak berumur sepuluh tahun biasa. Maksudku, memang aku melakukan hal-hal biasa. Aku makan es krim. Aku bersepeda. Aku memiliki XBox. Rasanya sih begitu. Tapi aku tahu anak-anak biasa tidak menyebabkan anak-anak biasa lainnya berlari meninggalkan taman bermain sambil menjerit-jerit. Aku tahu anak-anak biasa tidak pernah diperhatikan ke mana pun mereka pergi.

Seandainya aku menemukan sebuah lampu ajaib dan mendapatkan sebuah permohonan, aku akan memohon agar aku memiliki wajah normal yang tidak akan pernah diperhatikan siapa pun.

…..

Omong-omong, namaku August. Aku tidak akan menggambarkan seperti apa tampangku. Apa pun yang kaubayangkan, mungkin keadaannya lebih buruk.

Penutup bab pertama lumayan ‘nyesek’ dan seakan memberikan peringatan kepada pembaca, prepare for the worst.

Saat August lahir dengan keadaan kritis, perawat di rumah sakit membisikkan kalimat penguatan untuk ibu August, “Semua orang yang terlahir dari Tuhan bisa menghadapi dunia.”

Mom bilang, saat itu mereka sudah menceritakan semuanya mengenai aku. Mom sudah mempersiapkan diri untuk melihatku. Tetapi, Mom bilang, saat menunduk dan menatap wajah kecilku yang berantakan untuk pertama kalinya, yang disadari Mom hanyalah betapa indahnya mataku.

Omong-omong, Mom cantik. Dan Dad tampan. Via juga cantik. Kalau kau penasaran.

Kenapa saya rela susah payah mengetik ulang ketimbang copy paste sinopsis dari Goodreads? Karena saya ingin menunjukkan karakter August ini begitu loveable, siapa yang tidak jatuh hati dan ingin memberikan ‘puk-puk’ bahkan pelukan untuknya. Apalagi caranya bercerita seakan August hadir nyata di sekitar saya. Salut untuk R. J. Palacio!

Keadaan yang bertambah buruk. Semuanya dimulai ketika August bersekolah di Beecher Prep, pandangan mata yang menusuk, August dianggap mengidap penyakit menular, banyak hal yang ia dapati selama bersekolah. Julian, laki-laki menyebalkan yang kerap kali mengejek August. Oh how i hate that guy! Anyway, banyak hal menyenangkan juga yang August lewati, ia memiliki kepala sekolah bernama aneh yang bijaksana, ia memiliki teman unik bernama Summer yang selalu menjadi teman duduknya selama di kantin. Serta ia memiliki sahabat karib bernama Jack Will.

Setiap hari adalah perjuangan, kalimat itu lupa saya pernah baca di mana, namun sepertinya pas untuk melukiskan perjalanan hidup August selama ia bersekolah. Hidupnya benar-benar perjuangan dan saya sebagai pembaca merasakan hati ini ditusuk-tusuk *halah* sekaligus persahabatan August dengan teman-temannya juga menghangatkan hati, nyesek banget-banget. Bolak balik saya meneteskan air mata saat membaca buku setebal 427 halaman terbitan Atria ini.

Hal lain yang membuat saya menyukai Wonder adalah sudut pandang yang berbeda-beda. Tidak saya sadari sejak awal karena seratus halaman pertama kita langsung digiring melalui porsi August. Bab kedua diambil dari versi Via, kakak perempuan August.

Ya,saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Via yang tinggal di keluarga di mana salah satu anaknya adalah anak berkebutuhan khusus.

August adalah matahari. Aku, Mom dan Dad adalah planet-planet yang berputar mengelilingi matahari.

Damn, siapa bilang jadi remaja itu adalah hal yang mudah. Setiap kita memiliki masalahnya sendiri dan makanya saya sangat suka kalimat yang digunakan penulis untuk menutup Wonder :

“I think there should be a rule that everyone in the world should get a standing ovation at least once in their lives.”

Selain Via, buku ini juga menggunakan Summer dan Justin, pacar Via sebagai bagian dari narator. Lucunya, saat penulis menggunakan Justin sebagai pov, paragraf yang ada lurus,datar, tanpa huruf kapital dan tanda baca. Sampai awalnya saya pikir, aneh banget ada satu bagian yang lolos dari proofreader, ternyata setelah iseng main-main ke blog penulis, ia mengatakan demikian :

Why is Justin’s part written without uppercase letters and without proper punctuation?
I played trombone for seven years through middle school and high school. And I remember thinking back then, especially when I would get into the really low notes, that  notes on a musical staff looked a little like lowercase letters of the alphabet. I don’t play anything now but I can still read music, and I still think that way. Ascenders and descenders remind me of half note and quarter notes, depending on where they fall on the staff. The baseline of a letter is a bit like a ledger line. Certain serif faces even have strokes that call to mind that graceful little flag on top of the stem of a note. Maybe it’s because I’ve been a graphic designer for so many years, but I’m trained to see typefaces and fonts not just as communication devices, but as visual cues for other things. So when it came to writing from Justin’s point of view, because he’s a musician, someone who thinks in musical terms, it just seemed natural for me to use lowercase letters to represent his thoughts in a very visual way. He’s the kind of person who doesn’t talk a lot, because he’s naturally shy, but has a lot going on inside. The running monologue inside his head has no time for capital letters or punctuation: it’s like his thoughts are streaming inside his mind.

Keren ya! Dipikirkan sampai sejauh itu!

Banyak emosi dinaikturunkan di buku ini. Siapa coba yang tidak terenyuh hatinya saat August bertanya kepada ibunya, “Kenapa aku harus sejelek ini, Mommy?” >.<

Ketimbang membaca buku motivasi, coba deh baca buku ini. Sesuai dengan tema GRI baca bareng, semangat baru, membaca Wonder membuka hati kita untuk lebih melihat dengan sudut pandang yang baru.

“Courage. Kindness. Friendship. Character. These are the qualities that define us as human beings, and propel us, on occasion, to greatness.”

Beberapa sudut pandang memudahkan pembaca melihat August dari berbagai segi dan saya setuju dengan penulis yang tidak memasukkan sudut pandang sang Ibu.

I purposely left out the parents’ point of views because it would have changed the focus of the book from child-driven to something else, something darker and somewhat more cynical. This is something I didn’t want. It was my choice to end the book on a happy note in Auggie’s life, a time when he feels triumphant and well-loved. But we know that life won’t always be so kind to him, and the adults in the book know that, too. It’s one of the reasons I think adults reading the book get so emotional when reading it—far more emotional than children.

Kalimat di akhir sesuai dengan yang saya rasakan, sepertinya pembaca dewasa akan jauh lebih emosional membaca buku middle – grade. Walau endingnya sedikit Hollywood seperti kata beberapa teman, saya menutup buku ini dengan perasaan hangat dan haru, definetely one of the best book I’ve read.

5 dari 5 bintang.

Trailer :

Bagi yang sudah baca, jangan lewatkan main-main ke sini. Penjelasan-penjelasan kecil mengenai apa yang ada di buku. Mulai dari asal muasal R. J. Palacio mendapat ide menulis Wonder, yang ternyata diilhami pengalaman pribadinya saat melihat anak kelainan kraniofasial waktu membeli es krim bersama anaknya. Wonder, yang menjadi judul buku pertamanya, diambil dari lirik lagu Natalie Merchant.

Doctors have come from distant cities
Just to see me
Stand over my bed
Disbelieving what they’re seeing

They say I must be one of the wonders
Of god’s own creation
And as far as they can see they can offer
No explanation

Newspapers ask intimate questions
Want confessions
They reach into my head
To steal the glory of my story

They say I must be one of the wonders
Of god’s own creation
And as far as they can see they can offer
No explanation

Praise for Wonder :

“You’ll laugh out loud and cry joyful tears following Auggie. This is one of the most moving and purely uplifting books I’ve read in a long while.”
—Rachel Hochberg, Children’s Book World

“Prepare yourself. Your eyes will open, your heart will warm and you will find yourself cheering for August.”
—Judy Hobbs. Third Place Books

“A gentle, totally mesmerising book written in a compelling, realistic style that invites the reader into the intimate daily life of this marvelous, genuine boy and his family and holds them there. It is a powerful story that gives us the world we live in with a clean set of eyes; one you will return to again and again, with voices that will stay with you for a very long time. It is also about being yourself, even if the odds are against you, because in the end, that’s all you can be. For ages 10 and up (through adult readers), ‘Wonder’ is a thoroughly wonderful gift and a book that you must read.”
—Mary Esther Judy, The Bookbag

Detail buku :

Wonder – R. J. Palacio

Penerjemah : Harisa Permatasari

472 halaman, cetakan pertama, September 2012.

Pinjam dari Mamih Uci

 

 

2012 · BBI · drama · young adult

[Review] Will Grayson Will Grayson – John Green & David Levithan

Beberapa bulan lalu salah seorang teman BBI memberi usul membaca buku bertema LGBT. Whoa, seru juga, kenapa tidak? Kebetulan juga saya dapat pinjaman Will Grayson Will Grayson dari Astrid yang sebelumnya juga sudah pernah direkomendasikan Ndari dan Zenia.

Saya hanya mengetahui bahwa Will Grayson Will Grayson mengisahkan 2 remaja pria bernama sama dan buku ini adalah duet dari John Green bersama David Levithan. Ah kebetulan juga nih! Jikalau tahun 2011 saya ngefans banget dengan Sarah Dessen, di tahun 2012 perhatian saya banyak tersorot kepada mereka berdua. John Green dengan The Fault in Our Stars dan David Levithan yang twitternya hampir setiap hari saya cek melalui akun @loversdiction.

Apa jadinya ketika dua penulis jenius, puitis dan anti mainstream ini bergabung menjadi satu?

Will Grayson Will Grayson
Will Grayson Will Grayson

Wooshah. Will Grayson Will Grayson sukses mendapat bintang penuh dari saya, walau endingnya yang terlalu too good to be true dan sinetron-ish banget, buku ini jelas menjadi salah satu buku favorit saya di akhir tahun 2012. Yuk ah, kayanya pembukaan posting bareng kali ini kelamaan.

Sinopsis yang saya ambil dari Goodreads :

One cold night, in a most unlikely corner of Chicago, two teens—both named Will Grayson—are about to cross paths. As their worlds collide and intertwine, the Will Graysons find their lives going in new and unexpected directions, building toward romantic turns-of-heart and the epic production of history’s most fabulous high school musical.

Hilarious, poignant, and deeply insightful, John Green and David Levithan’s collaborative novel is brimming with a double helping of the heart and humor that have won both of them legions of faithful fans.

Cukup unik idenya mengisahkan pencarian jati diri remaja pria bernama sama. Will Grayson dan will grayson. Tidak sulit membedakan mana yang versi JG dan mana yang ciptaan DL. Masing-masing karakter mendapat porsi yang sama, Will Grayson versi JG adalah remaja normal yang diceritakan bersikap cukup riang dan terbuka, memiliki teman ajaib bernama Tiny Cooper yang sangat loveable. Sedangkan will grayson versi DL dikisahkan lebih suram dan penulisannya juga berbeda, semuanya huruf kecil, tanpa kapital dan tanpa tanda baca.

i am constantly torn between killing myself and killing everyone around me. those seem to be the two choices. everything else is just killing time. right now i’m walking through the kitchen to get the back door.

mom : where are you going

school, mom. You should try it some time.

mom : don’t  let your hair fall in your face like that – i can’t see your eyes.

but you see, mom, that’s the whole fucking point.

Begitulah will grayson ala David Levithan. Saya langsung suka dengan will sejak awal saya membacanya. Weird, quirky, dark dan rada menyebalkan. Khas remaja pria tapi entah kenapa saya lebih suka will grayson versi David ketimbang  Will Grayson-nya John Green yang pesonanya terlibas oleh Tiny Cooper.

will grayson yang jelas mengetahui bahwa dirinya adalah seorang gay sedang dibuat jumpalitan karena seorang laki-laki bernama Isaac. Percakapan mereka via messenger sedikit mengingatkan saya akan jaman-jaman pedekate yang ngobrol ngalur ngidul sambil senyum-senyum sendiri. Ahey.

i never hoped for everything to get better- only for one thing to get better. and it never did. so eventually i gave up. i give up every single day.

but not with isaac. it scare me sometimes. wishing it to work.

Untuk ukuran will yang emotionless dan menurut perkiraan saya pasti jarang berekspresi  juga, kalimat di atas itu mengharukan :’)

My fave cover
My fave cover

Will Grayson Will Grayson adalah buku yang tidak muluk-muluk. Masing-masing dari mereka berusaha mencari jati diri. Berusaha menjadi diri mereka sendiri, meraba-raba kehidupan lewat jatuh bangun kehidupan percintaan. Tokoh di buku ini, baik kedua will, ibu will dan Tiny Cooper terasa sangat nyata. We can find them anywhere. Mungkin itu yang menyebabkan walau sudah lewat lama, buku Will Grayson Will Grayson meninggalkan after effect yang cukup dalam di hati saya.

I love this book!! Senang, sedih, nyesek semuanya jadi satu di sini. Will Grayson memberikan konsep yang baru tentang buku young adult, walau temanya berhubungan dengan gay, buku ini tidak berusaha mencari pembenaran ataupun menitikberatkan pada point bahwa will dan Tiny adalah pria penggemar sesama jenis. Persahabatan, hubungan kekeluargaan, arti teman sesungguhnya, kebutuhan kita untuk berinteraksi dengan yang lain menjadi point dari Will Grayson Will Grayson. Gay atau pun tidak, sebenarnya itulah inti dari kehidupan kita bukan?

5 bintang untuk Will, will dan the one and only Tiny Cooper!

Quote favorit :

“I feel like my life is so scattered right now. Like it’s all the small pieces of paper and someone’s turned on the fan. But, talking to you makes me feel like the fan’s been turned off for a little bit. Like things could actually make sense. You completely unscatter me, and I appreciate that so much.”

“Maybe tonight you’re scared of falling, and maybe there’s somebody here or somewhere else you’re thinking about, worrying over, fretting over, trying to figure out if you want to fall, or how and when you’re gonna land, and I gotta tell you, Friends, to stop thinking about the landing, because it’s all about falling.”

Will Grayson Will Grayson

John Green & David Levithan

Speak, 2010.

310 halaman.