Catatan perjalanannya tidak banyak menekankan pada petualangan pribadi atau beragam keberhasilan yang dicapainya, melainkan berisi orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanannya. Tulisan-tulisannya lebih memberi penghormatan pada kenangan-kenangan tentang mereka yang telah menyentuh, memperkaya, mencerahkan hidupnya. Merekalah yang menjadi alasan kenapa Agustinus bisa lolos dari zona perang tanpa terluka sedikit pun, melewati wilayah-wilayah sulit dengan mudah, dan melakukan perjalanan panjang dengan dana amat terbatas.
Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan.
Lam Li, Oktober 2012.
Titik Nol
Kalimat pembuka oleh sahabat Agustinus Wibowo sangat pas menggambarkan buku setebal 552 halaman dan sekaligus menjadi penyebab ia mendapat rating 4 lebih di Goodreads. Berbeda dengan Selimut Debu, atau pun buku-buku perjalanan lainnya yang semakin banyak saja kita jumpai di toko buku. Titik Nol terasa sangat hangat. Personal. Menyentuh. Bahkan di beberapa bagian terasa sangat menyesakkan dan bolak balik saya menitikkan air mata. Tidak heran baru rilis beberapa minggu dan sekarang sudah dicetak ulang lagi.
Sampul depan Titik Nol begitu mengundang. Biru cerah dengan anak melompat dari pohon. Bebas. Berani. Nekat. Sebagaimana penulis yang juga pengembara, musafir, you named it. Menurut saya Agustinus Wibowo adalah laki-laki pejalan yang nekat. Perjalannya penuh dengan bahaya, dirampok, sakit keras di negeri orang. Buset dah! Titik Nol menjadi buku bacaan saya saat liburan di Lombok. Malu sendiri sudah heboh kepanasan dan stress ketika merasakan ‘keramahan’ penduduk lokal di pelabuhan Bangsal.
Makna sebuah perjalanan.
Tibet. India. Nepal. Afganistan.
Surga. Khailash. Shangri La.
Titik Nol berpusat pada Agustinus Wibowo yang menggabungkan makna perjalanan dan sang Mama yang berjuang menghadapi kanker. Bagaimana kedua hal itu bisa menjadi korelasi yang pas, itulah magnet kuat dan kekuatan penulis merangkai kata sehingga Titik Nol lebih menyerupai buku kehidupan seperti yang ditulis Qaris Tajudin. Justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, ia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini ia abaikan.
Dibedakan dari tulisan tegak yang mengisahkan perjalanan demi perjalanan dan tulisan bercetak miring, pembaca seakan melihat penulis dari dua sisi. Sebagai seorang pejalan yang mencari arti hidup, berpetualang dengan gagah berani dan sekaligus kita melihat Agustinus yang ternyata adalah manusia biasa. Tak lepas dari kecemasan, ketakutan, kesedihan.
Membaca Titik Nol, saya merasa ikut didongengi oleh Agustinus, sebagaimana bab demi bab ia menceritakan kisah Safarnama kepada sang Mama.
Jarak dan waktu memang sempat menjadikan hubungan ibu dan anak ini seperti tuan rumah dan tamu yang saling dipenuhi rasa sungkan. Tapi penyakit ini telah mengubah kami, yang kini tak segan mengucap kata ‘cinta’, berbagi ciuman dan belaian sayang. Penyakit ini membuatku menemukan Mama, mengalami keluarga, memberi makna baru pada rumah. Perjumpaan dan perpisahan, kegembiraan dan penderitaan, semua adalah anugerah. hal 334.
Pramoedya pernah berkata, hidup ini bukan pasar malam. Di tengah pesta kehidupan, kita tidak berbondong-bondong datang. Satu per satu kita datang, satu per satu kita berjalan dan menjelajah, satu per satu kita menciptakan kisah kita masing-masing, hingga tiba saatnya nanti satu per satu kita mengakhiri jalan ini-pulang. (hal 526).
Terima kasih Agustinus, untuk kesediannya berbagi kisah perjalananmu kepada kami. Membaca Titik Nol adalah suatu pengalaman berharga, menelusuri negeri yang mungkin tidak akan pernah saya pijak, terutama lagi mengingatkan saya akan mami di nirwana sana.
Setiap kisah, perjalanan, penantian, perjuangan, pengharapan dan kekuatan, tentu ada batas akhirnya. Dan selama masih ada waktu yang diberikan sang Pencipta, mari bersama kita buat kisah hidup kita berarti.
Don’t judge a book by its cover. Familiar, yes? Bagaimana dengan don’t judge a boy by his face?
Wonder
Lahir dengan kelainan Mandibulofacial Dysostosis, sebuah kondisi rumit
yang membuat wajahnya tampak tidak biasa walau sudah menjalani sepuluh kali operasi. August diperkenalkan langsung kepada pembaca melalui prolog berjudul ‘biasa’.
Aku tahu aku bukan anak berumur sepuluh tahun biasa. Maksudku, memang aku melakukan hal-hal biasa. Aku makan es krim. Aku bersepeda. Aku memiliki XBox. Rasanya sih begitu. Tapi aku tahu anak-anak biasa tidak menyebabkan anak-anak biasa lainnya berlari meninggalkan taman bermain sambil menjerit-jerit. Aku tahu anak-anak biasa tidak pernah diperhatikan ke mana pun mereka pergi.
Seandainya aku menemukan sebuah lampu ajaib dan mendapatkan sebuah permohonan, aku akan memohon agar aku memiliki wajah normal yang tidak akan pernah diperhatikan siapa pun.
…..
Omong-omong, namaku August. Aku tidak akan menggambarkan seperti apa tampangku. Apa pun yang kaubayangkan, mungkin keadaannya lebih buruk.
Penutup bab pertama lumayan ‘nyesek’ dan seakan memberikan peringatan kepada pembaca, prepare for the worst.
Saat August lahir dengan keadaan kritis, perawat di rumah sakit membisikkan kalimat penguatan untuk ibu August, “Semua orang yang terlahir dari Tuhan bisa menghadapi dunia.”
Mom bilang, saat itu mereka sudah menceritakan semuanya mengenai aku. Mom sudah mempersiapkan diri untuk melihatku. Tetapi, Mom bilang, saat menunduk dan menatap wajah kecilku yang berantakan untuk pertama kalinya, yang disadari Mom hanyalah betapa indahnya mataku.
Omong-omong, Mom cantik. Dan Dad tampan. Via juga cantik. Kalau kau penasaran.
Kenapa saya rela susah payah mengetik ulang ketimbang copy paste sinopsis dari Goodreads? Karena saya ingin menunjukkan karakter August ini begitu loveable, siapa yang tidak jatuh hati dan ingin memberikan ‘puk-puk’ bahkan pelukan untuknya. Apalagi caranya bercerita seakan August hadir nyata di sekitar saya. Salut untuk R. J. Palacio!
Keadaan yang bertambah buruk. Semuanya dimulai ketika August bersekolah di Beecher Prep, pandangan mata yang menusuk, August dianggap mengidap penyakit menular, banyak hal yang ia dapati selama bersekolah. Julian, laki-laki menyebalkan yang kerap kali mengejek August. Oh how i hate that guy! Anyway, banyak hal menyenangkan juga yang August lewati, ia memiliki kepala sekolah bernama aneh yang bijaksana, ia memiliki teman unik bernama Summer yang selalu menjadi teman duduknya selama di kantin. Serta ia memiliki sahabat karib bernama Jack Will.
Setiap hari adalah perjuangan, kalimat itu lupa saya pernah baca di mana, namun sepertinya pas untuk melukiskan perjalanan hidup August selama ia bersekolah. Hidupnya benar-benar perjuangan dan saya sebagai pembaca merasakan hati ini ditusuk-tusuk *halah* sekaligus persahabatan August dengan teman-temannya juga menghangatkan hati, nyesek banget-banget. Bolak balik saya meneteskan air mata saat membaca buku setebal 427 halaman terbitan Atria ini.
Hal lain yang membuat saya menyukai Wonder adalah sudut pandang yang berbeda-beda. Tidak saya sadari sejak awal karena seratus halaman pertama kita langsung digiring melalui porsi August. Bab kedua diambil dari versi Via, kakak perempuan August.
Ya,saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Via yang tinggal di keluarga di mana salah satu anaknya adalah anak berkebutuhan khusus.
August adalah matahari. Aku, Mom dan Dad adalah planet-planet yang berputar mengelilingi matahari.
Damn, siapa bilang jadi remaja itu adalah hal yang mudah. Setiap kita memiliki masalahnya sendiri dan makanya saya sangat suka kalimat yang digunakan penulis untuk menutup Wonder :
“I think there should be a rule that everyone in the world should get a standing ovation at least once in their lives.”
Selain Via, buku ini juga menggunakan Summer dan Justin, pacar Via sebagai bagian dari narator. Lucunya, saat penulis menggunakan Justin sebagai pov, paragraf yang ada lurus,datar, tanpa huruf kapital dan tanda baca. Sampai awalnya saya pikir, aneh banget ada satu bagian yang lolos dari proofreader, ternyata setelah iseng main-main ke blog penulis, ia mengatakan demikian :
Why is Justin’s part written without uppercase letters and without proper punctuation? I played trombone for seven years through middle school and high school. And I remember thinking back then, especially when I would get into the really low notes, that notes on a musical staff looked a little like lowercase letters of the alphabet. I don’t play anything now but I can still read music, and I still think that way. Ascenders and descenders remind me of half note and quarter notes, depending on where they fall on the staff. The baseline of a letter is a bit like a ledger line. Certain serif faces even have strokes that call to mind that graceful little flag on top of the stem of a note. Maybe it’s because I’ve been a graphic designer for so many years, but I’m trained to see typefaces and fonts not just as communication devices, but as visual cues for other things. So when it came to writing from Justin’s point of view, because he’s a musician, someone who thinks in musical terms, it just seemed natural for me to use lowercase letters to represent his thoughts in a very visual way. He’s the kind of person who doesn’t talk a lot, because he’s naturally shy, but has a lot going on inside. The running monologue inside his head has no time for capital letters or punctuation: it’s like his thoughts are streaming inside his mind.
Keren ya! Dipikirkan sampai sejauh itu!
Banyak emosi dinaikturunkan di buku ini. Siapa coba yang tidak terenyuh hatinya saat August bertanya kepada ibunya, “Kenapa aku harus sejelek ini, Mommy?” >.<
Ketimbang membaca buku motivasi, coba deh baca buku ini. Sesuai dengan tema GRI baca bareng, semangat baru, membaca Wonder membuka hati kita untuk lebih melihat dengan sudut pandang yang baru.
“Courage. Kindness. Friendship. Character. These are the qualities that define us as human beings, and propel us, on occasion, to greatness.”
Beberapa sudut pandang memudahkan pembaca melihat August dari berbagai segi dan saya setuju dengan penulis yang tidak memasukkan sudut pandang sang Ibu.
I purposely left out the parents’ point of views because it would have changed the focus of the book from child-driven to something else, something darker and somewhat more cynical. This is something I didn’t want. It was my choice to end the book on a happy note in Auggie’s life, a time when he feels triumphant and well-loved. But we know that life won’t always be so kind to him, and the adults in the book know that, too. It’s one of the reasons I think adults reading the book get so emotional when reading it—far more emotional than children.
Kalimat di akhir sesuai dengan yang saya rasakan, sepertinya pembaca dewasa akan jauh lebih emosional membaca buku middle – grade. Walau endingnya sedikit Hollywood seperti kata beberapa teman, saya menutup buku ini dengan perasaan hangat dan haru, definetely one of the best book I’ve read.
5 dari 5 bintang.
Trailer :
Bagi yang sudah baca, jangan lewatkan main-main ke sini. Penjelasan-penjelasan kecil mengenai apa yang ada di buku. Mulai dari asal muasal R. J. Palacio mendapat ide menulis Wonder, yang ternyata diilhami pengalaman pribadinya saat melihat anak kelainan kraniofasial waktu membeli es krim bersama anaknya. Wonder, yang menjadi judul buku pertamanya, diambil dari lirik lagu Natalie Merchant.
Doctors have come from distant cities
Just to see me
Stand over my bed
Disbelieving what they’re seeing
They say I must be one of the wonders
Of god’s own creation
And as far as they can see they can offer
No explanation
Newspapers ask intimate questions
Want confessions
They reach into my head
To steal the glory of my story
They say I must be one of the wonders
Of god’s own creation
And as far as they can see they can offer
No explanation
Praise for Wonder :
“You’ll laugh out loud and cry joyful tears following Auggie. This is one of the most moving and purely uplifting books I’ve read in a long while.”
—Rachel Hochberg, Children’s Book World
“Prepare yourself. Your eyes will open, your heart will warm and you will find yourself cheering for August.”
—Judy Hobbs. Third Place Books
“A gentle, totally mesmerising book written in a compelling, realistic style that invites the reader into the intimate daily life of this marvelous, genuine boy and his family and holds them there. It is a powerful story that gives us the world we live in with a clean set of eyes; one you will return to again and again, with voices that will stay with you for a very long time. It is also about being yourself, even if the odds are against you, because in the end, that’s all you can be. For ages 10 and up (through adult readers), ‘Wonder’ is a thoroughly wonderful gift and a book that you must read.”
—Mary Esther Judy, The Bookbag
“Try to imagine a life without timekeeping. You probably can’t. You know the month, the year, the day of the week. There is a clock on your wall or the dashboard of your car. You have a schedule, a calendar, a time for dinner or a movie. Yet all around you, timekeeping is ignored. Birds are not late. A dog does not check its watch. Deer do not fret over passing birthdays. an alone measures time. Man alone chimes the hour. And, because of this, man alone suffers a paralyzing fear that no other creature endures. A fear of time running out.”
Berapa banyak di antara kita hari ini 31 Desember 2012 berpikir ‘time flies’? Time is running out. Ke mana saja waktu berlalu? Apa saja pencapaian tahun ini? Resolusi tercapai semuakah?
Terus terang saya masih keteteran dengan resolusi 2012, memang ada momen-momen penting yang terukir cemerlang di tahun ini, tapi banyak juga yang belum sempat terwujud dengan alasan ‘tidak cukup waktu’. Benar tidak cukup waktu? Atau saya yang terlalu banyak menghabiskan waktu percuma?
Seperti kata Dor, tokoh utama di buku terbaru Mitch Albom :
“Dor: there is a reason God limits our days.
Victor: why?
Dor: to make each one precious.”
The Time Keeper
Inti dari buku setebal 222 halaman, cukup tipis dan ringan untuk dibaca. Malah paling simpel dari semua buku karangan Mitch Albom yang pernah saya baca. Saya tidak akan berpanjang lebar dengan review teman-teman lain pasti lebih piawai meracik review. Time Keeper mengajak kita semua untuk tidak bermain-main dengan waktu, jujur dengan perasaan kita. Isi waktu dengan hal-hal yang berharga sehingga momen yang lewat tidak sia-sia karena bagaimana pun caranya kita tidak bisa menghentikan waktu seperti Dor. Pergunakan waktu kita yang terbatas ini dengan baik.
“We all yearn for what we have lost. But sometimes, we forget what we have.”
Mudah-mudahan tahun depan menjadi tahun yang baik untuk kita semua, mimpi terwujud, cita-cita tercapai dan rencana Dia tergenapi atas kita. Terima kasih Mitch Albom atas dongeng yang indah akan berharganya waktu yang sering kali kita habiskan sia-sia.
Selamat tahun baru 2013, teman-teman semua! 🙂
*review yang bukan review*
**dibaca dalam rangka posting bareng buku karangan Mitch Albom bareng BBI**
***Gara-gara baca Time Keeper saya ingin baca ulang semua karya beliau yang ternyata baru satu saja yang saya review, bagi yang ingin baca silahkan berkunjung ke sini, salah satu buku favorit saya tahun 2011***
Saya senang membaca buku tipe begini, hampir setipe dengan The Geography of Bliss *adooh, baru inget belum review*. Narasi yang menjual, terlebih ada iming-iming dua buku favorit saya The Little Prince dan The Alchemist dan didukung pula dengan cover buku yang rainbowish minimalis membuat saya tanpa pikir panjang membeli Hector and the Search for Happiness di Periplus Juanda 2 tahun lalu.
Hector and the Search for Happiness
Sayangnya tidak segesit niat membeli, eh buku ini teronggok begitu saja di rak buku, sempat dibaca tapi karena bosan saya tidak melanjutkan lagi. Berhubung ‘omelan’ Goodreads yang ‘you’re 5 books behind’ senantiasa muncul ya sudahlah, waktunya mengeluarkan jurus andalan, baca buku di bawah 200 halaman! ^.^ v Akhirnya butuh waktu 2 hari untuk berkeliling dunia bersama Hector mencari makna kata bahagia.
Saya suka cover yang ini 🙂
Jadi begini, Hector sang psikiater yang tidak puas dengan hidup dan pekerjaannya berniat melakukan perjalanan menjelajah dunia untuk mencari apa sebenarnya yang membuat bahagia seseorang. Hector akan mencari rahasia kebahagiaan. Kurang lebih seratus halaman ke belakang Hector berkelana mulai dari Cina, Afrika,Paris sampai Amerika. Inti sari pengalaman dan percakapan dari penjuru dunia dirangkum dalam notes kecil yang Hector beli khusus untuk rahasia hidup bahagia.
Inspiratif semestinya, tapi penulisan Francois Lelord terlalu kaku, malah kadang beliau menempatkan kita sebagai pembaca yang kesannya tidak mengerti banyak hal, sehingga saya malah merasa sedang membaca textbook ketimbang membaca novel. Terlalu bertutur. Mungkin itulah sebabnya butuh dua kali baca ulang novel ini, saya bosan, but it was okay kok. 2 bintang di Goodreads bukan berarti tidak suka kan? 🙂
22 rahasia hidup bahagia menurut Hector :
Making comparisons can spoil your happiness
Happiness often comes when least expected.
Many people see happiness only in their future.
Many people think that happiness comes from having more power or more money.
Sometimes happiness is not knowing the whole story.
Happiness is a long walk in beautiful, unfamiliar mountains.
It’s a mistake to think that happiness is a goal.
Happiness is being with the people you love.
Happiness is knowing your family lacks for nothing.
Happiness is doing a job you love.
Happiness is having a home and a garden of your own.
It’s harder to be happy in a country run by bad people. *well, hellow indonesiaaaa!* >.<
Happiness is feeling useful to others.
Happiness is to be loved for exactly who you are.
Happiness comes when you feel truly alive.
Happiness is knowing how to celebrate.
Happiness is caring about the happiness of those you love.
The sun and the sea make everybody happy.
Happiness is a certain way of seeing things.
Rivalry poisons happiness.
Women care more than men about making others happy.
Happiness means making sure that those around you are happy?
Bagaimana menurut kalian? Samakah?
Menurut saya sih bahagia itu tidak usah dicari-cari, ada dalam diri kita masing-masing kok. Tsaaah.
PS. Buku saya ada edisi tanda tangan pengarang loooh. *mau pamer tapi males foto, besok aja yak*
PSS. Buku ini bakal difilmkan, berdasar berita ini bakal tayang 2014 dengan judul yang sama, pemeran Hector jatuh pada Simon Pegg dan yang menjadi Clara, pacar Hector adalah Rosamund Pike. Mudah-mudahan filmnya bakal lebih bagus ketimbang bukunya.
Simon Pegg
Simon Pegg cocok jadi Hector, tinggal tambah kacamata, nerdy-nerdy quirkynya dapet. Rosamund oke-oke aja kalau menurut saya, karena kurang terdeskripsikan dengan jelas karakternya.
Sebelum bercerita tentang buku #TNSALOA, cerita soal awal mulanya saya ngefans berat sama doi dulu gpp yak 😀
Berawal dari follow akunnya di twitter, kicauan khas Alexander Thian mulai mewarnai hari saya, kalau lagi bete atau lagi bosan menunggu pas ga baca buku yang saya klik di ‘go to user’ ya pasti @aMrazing 😀 Tweet-tweetnya itu RTable, ceplas ceplosnya bikin ngakak, tweet mellownya pengen klik jadi favorite mulu atau lebih seru lagi kalau doi berantem dengan fans beratnya penyanyi Indonesia berkaliber internasional itu :p
Tulisannya sebelumnya sudah pernah saya baca di kumpulan kisah The Journeys dan siapa sangka review The Journeys di blog ini dikomentarin langsung oleh @aMrazing. Akkk, senang!
Makanya saya yang jarang banget beli buku pre order, langsung sigap memesan buku The Not-so Amazing Life of @aMrazing! Tak butuh waktu lama untuk membaca habis buku #TNSALOA, sampai pacar saya bengong, kadang ketawa ngikik, eh sebentarnya berkaca-kaca.
#TNSALOA
#TNSALOA terbagi menjadi 14 cerita unik tentang pelanggan-pelanggan ajaib Alex saat ia memiliki konter HP.
1. Bapak Yu jam ai jam yang ngotot pengen lagu My Heart Will Go Onnya Maria Kere.
2. Mbak-mbak bohay yang nyimpen kondom bekas Ona Sutra *kalau ga salah dulu @aMrazing pernah ngetwit soal Mbak ini deh*
3. Bapak pemilik HP yang punya nama Pelangi *perhatian baca bagian ini diharapkan di tempat sepi biar ga kliatan gila ngakak-ngakak ga jelas*
4. Dummy seharga 2 juta yang sukses membuat saya menitikkan air mata. Duh, apa kabar Rama sekarang ya?
5. Anak kecil kembaran Pretty Asmara yang bawaannya pengen nampol dan sedihnya sering kali saya jumpai anak macam begini sekarang.
6. Bab yang berjudul Amnesia Mendadak selain lucu juga berjasa menambah kosakata permisuhan saya. ‘sapi’ ‘sapi berkoreng’ ‘sapi budukan’ dan ‘sapi bersusu jumbo’ 😀
7. Kali ini kita melihat Alex yang apes kuadrat kena nafas bau neraka plus ‘digajahi’.
8. That awkward moment antara ibu berkonde tinggi dan ibu polos yang kebingungan softwarenya yang harus di’flash‘.
9. Takjub-takjub dengan kisah loper koran yang punya Nokia N70 plus selera musiknya juara. Tak hanya itu, saya juga belajar untuk tidak menilai dari luarnya saja, di jaman everybody judges everbody kita diingatkan kembali untuk mendalami arti ‘beauty is only skin deep‘. Touching!
10. Bapak dangdut terorejing, Alex kembali mengalami hari dengan pelanggan bernafas naga :p
11.Manajer masturbasi, kisahnya mirip-mirip pengalaman @vabyo di Kedai 1001 Mimpi hanya saja nama bapak ‘Kokcoli’ ini fenomenal! Dan beneran deh, bolak balik saya bingung kok bisa ya kejadian aneh-aneh selalu menyertai hidup Alex? Sudah ditakdirkan untuk buat buku selanjutnyakah? #kodebuatkohAlex
12. Pelanggan selanjutnya adalah khas tipe pejabat Indonesia bedanya yang ini pake Virtu bukan Vertu.
13. Preman jadi-jadian, another tragic day buat Alex dan menjadi hiburan buat pembaca 😀
14. Terakhir. Jujur itu Mahal yang saya tangkap sangat personal, terbukti quotenya yang dalem banget.
Sometimes, acceptance is the hardest thing to do. Not because we can’t, but because we just don’t want to. We hold on to things that are no longer there, because we’re not ready to go.
Ditutup dengan kalimat ‘Dan pada akhirnya, orang yang berbesar hati akan menertawakan kesalahannya sendiri tanpa beban’, 4 bintang untuk pelanggan-pelanggan fenomenal dan tulisan khas @aMrazing!
Kalau bisa diumpamakan sebagai penonton di penutup konser-konser artees, kali ini saya akan joget-joget sambil berkata, “We want more, we want more!” 🙂
Ditunggu buku selanjutnya ya Mas Alex or should i say Mas Gordon Levitt? :p
Bagi penggemar buku macam Kicau Kacaunya Indra Herlambang dan Kedai 1001 Mimpinya @vabyo, buku ini wajib baca, apalagi bagi follower-followernya. Belum pernah dengar tentang penulis, silahkan follow twitternya di @aMrazing dan tumblrnya di amrazing007.tumblr.com.
Kali ini saya tidak mencantumkan sinopsis dari Goodreads seperti biasanya, melainkan saya langsung mengetik ulang chapter 1 yang hanya berisi beberapa kalimat.
Here is what I know:
My name is Budo
I have been alive for five years.
Five years is a very long time for someone like me to be alive.
Max gave me my name.
Max is the only human person who can see me.
Max’s parents call me imaginary friend.
I love Max’s teacher, Mrs Gosk.
I do not like Max’s other teacher, Mrs Patterson.
I am not imaginary.
Woohoo! Keren yaaa! Bab awal yang memikat dan langsung menimbulkan efek lengket di tangan, ga lepas kalau ga kelar! Err, walau butuh waktu dua hari untuk menyelesaikannya, yah gimana ya, sibuk siih. *sambil kikir kuku* *plaaak* Yuk ah, balik ke Budo. Jadi Budo ini adalah seorang imaginary friend cukup beruntung. Kenapa saya bilang beruntung? Teman khayalan anak-anak lain belum tentu ‘sesempurna’ Budo, namanya juga anak-anak kan yak? Ada yang cuma item bulet gitu aja tanpa wajah, kaki dan tangan. Ada juga yang tidak punya telinga, mana hidupnya hanya seminggu pulak. Budo bisa hidup selama lima tahun karena Max percaya akan keberadaannya dan notabene untuk ukuran teman khayalan Budo ini lumayan sepuh.
‘Tuhannya’ Budo si Max Delaney adalah bocah spesial berusia 8 tahun, walau sampai akhir kisah tidak disebutkan ‘kelebihan’ Max tapi dari ciri-ciri dan tingkah lakunya saya menduga Max memiliki beberapa ciri-ciri dari Asperger’s Syndrome.
Pertanyaan warna permen apa yangakan dibeli terasa sangat menyulitkan bagi Max.
Is red better than yellow?
Is green better than blue?
Which one is colder?
What does red taste like?
Do different colors taste different?
Max diam. Bingung. Freezes. Freezes like a popsicle. Dan Budo akan memudahkan Max sambil berbisik di telinga Max.
“Pick blue”
Dan Max akan memilih biru.
Sesimpel itu.
Cover favorit
Walau tak terlihat Budo bisa dibilang satu-satunya teman Max, karena Max susah bergaul dengan teman lainnya. Jangankan teman dan guru, orang tuanya kerap bertengkar perihal Max. Hendak dibawa ke dokterkah? Normalkah ia?
Dan ketika Max menghadapi bullying dari kakak kelasnya yang setaraf preman Budo ada si samping Max untuk membantunya. Tapi bagaimana jika kondisi berubah seperti yang ada di pertengahan buku. Max dalam bahaya. Satu-satunya yang tahu kondisi Max adalah Budo sedangkan Budo hanya bisa dilihat dan didengar oleh Max. Berhasilkah Budo menyelamatkan Max?
Ihiiy, ga seru dong ya kalau saya ceritakan. Silahkan baca sendiri kisah Max dan sahabat sejatinya. Sungguh sayang dilewatkan. Sedih, lucu dan memorable. Selain font tulisannya yang ramah di mata, kisah yang diceritakan melalui Budo sebagai narator memikat saya sedari awal. Cocok dibaca mulai tingkat middle grade sampai uzur grade macam saya. 🙂
Mirip Extremely Loud ga sih?
+ : Penceritaannya menarik sejak awal, kisahnya mudah diikuti, Budo dan Max sangat loveable begitu juga dengan karakter pendukungnya.
– : Tokoh antagonisnya kurang jahat dan minus terbesarnya ini cerita kan ceritanya jaman sekarang, kenapa orang tua dan guru Max tidak segera membawa Max ke orang yang tepat? Semestinya kebiasaan Max yang di luar batas bisa terdeteksi sejak awal. *bawell ah Mi* *kalo ga ya ga jadi cerita ini kan*
Sekilas mengenai Asperger yang saya kutip dari wikipedia :
Sindrom Asperger / Asperger syndrome / Asperger’s syndrome /Asperger’s disorder adalah salah satu gejala autisme di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima. Sindrom ini ditemukan oleh Hans Asperger pada tahun 1944.
Dengan beberapa ciri sebagai berikut :
Gangguan keterampilan sosial. Anak-anak dengan Asperger’s syndrome pada umumnya kesulitan berinteraksi dengan orang lain dan seringkali kaku dalam situasi sosial. Pada umumnya mereka sulit berteman.
Perilahu eksentrik atau kebiasaan yang berulang-ulang. Anak-anak dengan kondisi ini kemungkinan melakukan gerakan yang berulang-ulang, seperti meremas-remas atau memutar jari tangan.
Kesulitan komunikasi. Orang-orang dengan Asperger’s syndrome kemungkinan tidak melakukan kontak mata saat berbicara dengan seseorang. Mereka mungkin bermasalah menggunakan ekspresi dan gerak tubuh serta kesulitan memahami bahasa tubuh. Selain itu, mereka cenderung bermasalah memahami bahasa dalam konteks.
Keterbatasan ketertarikan. Anak dengan Asperger’s syndrome kemungkinan memiliki ketertarikan yang intens bahkan terobsesi terhadap beberapa bidang, seperti jadwal olahraga, cuaca atau peta.
Masalah koordinasi. Gerakan anak dengan Asperger’s syndrome kelihatan ceroboh dan kaku.
Ciri-ciri yang hampir semua tampak pada Max Delaney. Dan tak hanya Matthew Green yang mengangkat topik Asperger dalam novelnya. Masih ada beberapa yang cukup terkenal seperti : The Curious Incident of the Dog in the Night-time karangan Mark Haddon, House Rules karangan Jodi Picoult.
Penggemar film pasti ingat dengan akting Dustin Hoffman sebagai Babbit di film Rain Man dan film favorit saya Max and Mary. Max di film animasi stop motion yang memenangkan banyak penghargaan juga mengidap Asperger. Bagi yang belum tonton film ini wajib tonton! Beneran, percaya deh apa yang dikatakan Mia. 🙂 Terakhir nih, para penggemar serial drama keluarga pasti familiar dengan tantrumnya si Max kan? Nooh, sama nama, sama-sama Asperger. Terus terang Max inilah yang mengingatkan saya dengan Max di buku. Aduh bingung ga sih. Ya sudah deh ga pake ba bi bu lagi, buku ini wajib dibaca, apalagi pengarangnya ternyata ramah pisaaan. Tweet saya dibalas looh! *terharu* Jadi ada kemungkinan saya bakal mereview buku ini lagi dengan bahasa Inggris saya yang acak adul.
Sekilas mengenai pengarang : Matthew Green, MoaIF adalah buku ketiganya, buku sebelumnya adalah Something Missing dan Unexpectedly, Milo. Sebelumnya beliau rajin menulis essay, poetry dan jurnal. Biodata lengkapnya bisa dilihat sendiri di goodreads ataupun mampir ke situs pribadinya. Bisa dibilang biodata Matthew Green di Goodreads adalah biodata terpanjang dan paling ‘terbuka’. Kelihatan banget kalau orangnya ramah dan tidak sombong, pasti rajin menabung #eh. Duh gini deh kelamaan ga buat review dan sekarang di Bali sudah hampir lewat tengah malam, saya bobo cantik dulu ya teman-teman. Selamat berburu buku Memoirs of an Imaginary Friend. Mau pinjam punya saya juga boleh, tapi antri ya 😀
When we meet someone and fall in love, we have a sense that the whole universe is on our side. And yet if something goes wrong, there is nothing left! How is it possible for the beauty that was there only minutes before to vanish so quickly? Life moves very fast. It rushes from heaven to hell in a matter of seconds.
Once upon a time, there was a prostitute called maria. Wait a minute. “Once upon a time” is how all the best children’s stories begin and “prostitute” is a word for adult. how can I start a book with tthis apparent contradiction? But since, at every moment of our lives, we all have one foot in a fairy tale and the other in the abbys, let’s keep the beginning.
Paragraf pembukaan yang membius, seakan Paulo Coelho sudah memperingati pembaca bahwa apa yang akan ia kisahkan di Eleven Minutes adalah cerita dewasa. Bagaimana tidak, tokoh utamanya Maria adalah seorang pelacur.
Eleven Minutes
Maria awalnya sama seperti banyak wanita kebanyakan. Ia memimpikan memiliki suami ganteng plus kaya, menikah dengan gaun yang indah, memiliki dua anak dan tinggal di rumah sederhana di pinggir pantai. Cinta pertamanya ia rasakan ketika berusia 11 tahun, tidak jauh-jauh. Pria yang menarik hati Maria adalah teman sekolahnya yang juga tinggal di kompleks yang sama. Namun baik Maria dan si pria tidak pernah bertukar sapa, hanya sering berjalan beriringan ke sekolah, Maria tidak berani memulai pembicaraan. Diam.
Suatu kali sang pria tidak lagi muncul di sekolah dan akhirnya Maria mengetahui bahwa tetangganya telah pindah ke kota lain. Cinta pertama Maria kandas begitu saja.
3 tahun berlalu sejak putus cinta. Ia belajar banyak hal : geografi, matematika, ia mulai membaca majalah dewasa, menulis diary untuk memuaskan keinginannya tentang semua yang diajarkan. Laut, salju, pria-pria dan perhiasan. Mimpi maria terus berlanjut.
Di usianya yang kelima belas tahun, ia kembali dekat dengan laki-laki baru, bertekad tidak mengulangi kesalahannya yang dulu, mereka berteman, pergi ke pesta dan bioskop. Dan tak butuh waktu lama untuk Maria merasakan ciuman pertamanya. Malam itu, Maria bertekad menulis diary karena ia merasa ada suatu hal penting yang sedang terjadi pada dirinya malam ini.
When we meet someone and fall in love, we have a sense that the whole universe in on our side. I saw this happen today as the sun went down. And yet if something goes wrong, there is nothing left! No herons, no distant music, not even the taste of his lips. How is it possible for the beauty that was there only minutes before to vanish so quickly?
Life moves very fast. It rushes us from heaven to hell in a matter of seconds. (p.9)
Maria terus beranjak dewasa dan menjadi semakin cantik. Tak hanya ciuman, ia mengeksplorasi tubuhnya, masturbasi, orgasme, dan Maria sudah bercinta dengan banyak pria. Namun kenikmatan yang ia rasakan lebih diperoleh dengan masturbasi.
Menginjak 19 tahun, Maria mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Ia meninggalkan Brazil, mengadu nasib seorang diri di Swiss.
Everything tells me that I am about to make a wrong decision, but make a wrong decision, but making mistakes is just a part of life. What does the world want of me? Does it want me to take no risks, to go back where I came because I didn’t have the courage to say”yes” to life? (p.25)
Dan di minggu keduanya di Swiss, di persepsi saya Maria menjadi semakin ‘mature’ dan she’s becoming my idol! \(^.^)/
I can choose either to be a victim of the world or an adventurer in the search of treasure. It’s all a question of how I view my life. (p.37)
Maria bekerja, bekerja dan bekerja. Ia mengambil kursus bahasa Perancis dan belajar mempraktekkan langsung dengan berjalan-jalan di sekitar kota. Terpuruk dengan kesendiriannya ia pun berpikir untuk menjadi model yang sayangnya tak kunjung dipanggil agensi model. Dan tulisnya suatu malam :
At the moment, I’m far too lonely to think about love, but I have to believe that it will happen, that I will find a job and that I am here because this fate. The roller coaster is my life; life is a fast, dizzying game; life is a parachute jump; it’s taking chances, falling over and getting up again; it’s mountaineering; it’s wanting to get to the very top of yourself and to feel angry and dissatisfied when you don’t manage it.
It isn’t easy being far from my family and from the language in which I can express all my feelings and emotions, but, from now on, whenever I feel depressed, I will remember that unfair. If I had fallen asleep and suddenly woken up on a roller coaster what would I feel?
Well, I would feel trapped and sick, terrified of every bend, wanting to get off. However, if I believe that the track is my destiny and that God is in charge of the machine, then the nightmare becomes something thrilling. It become exactly what it is, a roller coaster, a safe, reliable toy, which will eventually stop, but, while the journey lasts, I must look at the surrounding landscape and whoop with excitement. (p.48)
Juara!!
Nasib yang tak jelas, luntang lantung dan pertemuannya dengan seorang agensi model secara tiba-tiba mengarahkan Maria menjadi seorang pelacur.
I have discovered the reason why a man pays for a woman; he wants to be happy.
He wouldn’t pay a thousand fracs jut o have an orgasm. He wants to be happy. I do too, everyone does, and yet no one is. What have I got to lose it, for a while, I decide to become . . . . . it’s a ifficult word to think or even write . . . . but let’s be blunt . . . . what have I got to lose if I decide to become a prostitute for a while?
Itulah awalnya, Maria terus belajar. Ia rutin mengunjungi perpustakaan untuk belajar tentang sex dan resmi menjadi pekerja seks di klub Copacabana. Setelah enam bulan ia bergelung dengan pekerjaan barunya, Maria belajar mengenai sebelas menit yang sekaligus dijadikan dasar judul buku Paulo Coelho. Sebelas menit adalah waktu rata-rata yang dipergunakan untuk berhubungan intim.
Eleven Minutes.
The world revolved around something that only took eleven minutes.
Kalau dilanjutkan bisa-bisa review ini habis dengan petikan buku, singkat cerita tak lama kemudian Maria bertemu dengan pria yang bisa memutarbalikkan hidupnya. Seorang pelukis yang ia temui di cafe, yang mengajarkan arti cinta sesungguhnya tak hanya berkisar di putaran waktu sebelas menit. Dan semakin ke belakang Paulo Coelho menyelipkan pesan bahwa keintiman adalah sesuatu yang sakral, yang lebih dari besar artinya dari sekedar sentuhan fisik.
Salah satu buku yang harus dibaca dari pengarang kaliber dunia Paulo Coelho, pesan saya satu : buka hati dan pikiran saat membaca, banyak konten dewasa 😀
Eleven Minutes sudah pernah diterjemahkan ke Gramedia dengan cover yang cantik.
Eleven Minutes GramediaEleven Minutes, cover baru
Detail buku :
Eleven Minutes – Paulo Coelho
Harper Collins Publishers, 2004
273 halaman
Sekilas cerita mengenai Eleven Minutes, Paulo Coelho terinspirasi dari buku The Seven Minutes karangan Irving Wallace yang juga mengupas soal berapa waktu rata-rata yang dihabiskan untuk berhubungan seksual. Tahun 1997 di Italia, seseorang meninggalkan manuskrip kepada Paulo untuk dibaca yang ternyata berisikan penggalan kisah seorang pelacur Brazil. Tahun 2000 ketika melewati Zurich, Paulo bertemu langsung dengan wanita itu yang ternyata bernama Sonia.
Heartbreaking, yet uplifting. Kesan yang saya dapat dari buku ini. Sejak pertama kali melihat buku ini di toko buku, I know I’m gonna love this book.
Berkisan tentang Laksmi, gadis kecil dari Nepal berusia 13 tahun yang dijual oleh ayah tirinya sendiri ke rumah bordil. keluguan, kenaifan seorang anak kecil terpampang dengan jelas di buku ini, karena kisah ini dikisahkan dari sudut pandang si Laksmi sendiri.
Buku setebal 310 halaman saya selesaikan dengan semalam karena ternyata isinya cukup ringan dan gaya penulisan yang beda dari novel biasanya.
Laksmi, diiming-imingi bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota cukup dengan permen manis ia sudah sangat senang. Kaki tangan sang pemilik rumah bordil memberitahukan Laksmi, “Saat melewati perbatasan, engkau harus memanggilku suami!”
Laksmi yang polos, menurut saja apa kata si paman dan mereka berhasil melewati India dengan aman. Lucunya, di pikiran Laksmi, paman itu sekarang ia panggil dengan paman suami.
Ketika tiba di rumah bordil, tiba waktunya Laksmi berpisah dengan paman suami, nah bagian-bagian ini membuat saya merinding. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya seorang Laksmi, 13 tahun dipaksa melayani lelaki berbibir ikan.
Pria berbibir ikan itu melepas gaunku.
Kutunggu diriku untuk melawan. Namun tak ada yang terjadi.
Lantas dia di atasku, dan sesuatu yang panas dan menuntut ada di antara kedua tungkaiku.
(hal 162)
Kira-kira seperti itulah cara penulisan Patricia di novel ini dari awal sampai akhir. Kalimatnya cukup singkat, tapi sudah berhasil membuat saya terentuh, berdebar-debar, bahkan hampir menitikkan air mata.
Rumah bordil, yang di sini disebut dengan rumah kebahagiaan berhasil merebut masa gadis Laksmi, masa di mana ia seharusnya bermain dengan teman-temannya, mengerjakan pr di sekolah. Laksmi mulai terbiasa membutakan segenap panca indranya, agar ia buta dengan wajah para lelaki yang membayarnya 30 rupee (seharga dengan 1 kaleng coca cola), agar hidungnya tidak mencium bau amis para lelaki berperut gendut.
Lakmi memiliki beberapa teman di rumah kebahagiaan, salah satunya bocah berbaju David Beckham, seringkali ia mengamatinya.
Aku tahu, dari segala kegiatannya bahwa dia hanyalah laki-laki biasa.
Namun, sesekali kutemukan diriku membenci dirinya.
Aku benci dia karena memiliki segala buku sekolah dan teman bermain.
Karena memiliki seorang ibu yang menyisir rambutnya di pagi hari.
Dan, karena kemerdekaan untuk datang dan pergi sesukanya.
Namun, kadangkala aku membenci diriku sendiri karena membencinya.
Hanya karena dia seorang anak laki-laki biasa.
Dan si laki-laki biasa ini mengajarkan Laksmi menulis dan membaca, sampai suatu ketika ia memberikan Laksmi sebuah pensil.
(hal 244) Sebulir air mata bergulir di pipiku.
Aku telah dipukuli di sini,
dikurung,
dianiaya ratusan kali,
dan ratusan kali lagi.
Aku telah dibiarkan kelaparan,
dan ditipu,
dijebak,
dan dipermalukan.
Betapa anehnya, aku telah luluh sepenuhnya oleh kebaikan hati seorang bocah lelaki dengan sebatang pensil kuning.
Baca buku ini kebetulan juga dengan maraknya perkosaan anak kecil yang terjadi di Bali. Betapa saya mengutuk pria ini, karena ia tidak sekedar merobek selaput dara si anak, tapi sekaligus menghempaskan masa depan anak kecil tak berdosa dalam waktu 5 menit saja!!
Postingan lama di Goodreads, rencananya diposting bareng untuk tema bacaan perempuan. Membaca review singkat yang saya tulis penuh emosi 2 tahun lalu membuat ingin membaca ulang buku ini.
You know you’ve read a good book when you turn the last page and feel a little as if you have lost a friend. ~Paul Sweeney
Melinda, tokoh utama Speak karangan Laurie Halse Anderson seakan menjadi teman saya dan sampai sekarang tokohnya yang terasa sangat hidup itu masih ‘menghantui’. Berulang kali saat membaca saya seakan ingin memeluk dan berbicara dengannya. I’m here Melinda, just speak!
Speak
Sebelum nyerocos tak jelas mari kita lihat sinopsis Speak, Melinda Sordino busted an end-of-summer party by calling the cops. Now her old friends won’t talk to her, and people she doesn’t even know hate her from a distance. The safest place to be is alone, inside her own head. But even that’s not safe. Because there’s something she’s trying not to think about, something about the night of the party that, if she let it in, would blow her carefully constructed disguise to smithereens. And then she would have to speak the truth.
Berawal dari kekacauan sebuah pesta dan Melinda menjadi tertuduh perusak acara karena ia menelpon polisi yang berlanjut dengan bubarnya pesta, akibatnya ia dijauhi oleh teman-temannya bahkan lama kelamaan tidak ada yang mau berbicara apalagi berteman dengannya. Apa sebab Melinda menghubungi polisi teman-temannya tidak mau tahu, yang jelas Melinda mengacaukan acara hura hura bergembira mereka.
Hari-harinya sebagai anak baru di SMA sama sekali tidak menyenangkan, temannya hanya satu, pindahan dari Ohio bernama Heather. Padahal teman SMA Melinda rata-rata adalah teman SMPnya dulu yang sekarang membencinya. Tindakan Melinda hanya satu diam. Ia mulai terbiasa tidak bersuara bahkan dengan orang tuanya sendiri. Mengangguk atau menggeleng. Hanya itu saja yang ia lakukan.
Sebagai pembaca saya ikut sedih, kenapa orang tuanya tidak berusaha lebih keras untuk mengetahui ada apa di balik diamnya seorang Melinda dan ketika teman satu-satunya mulai menjauh, nilai sekolahnya merosot kecuali satu, Art. Mr Freeman sebagai guru kesenian menyadari ada sesuatu yang salah dengan Melinda dan sampai akhir cerita ia berperan besar terhadap sikap Melinda yang semakin membaik. Dan tugas Mr Freemanlah yang diangkat menjadi sampul depan buku Speak,awalnya saya tidak mengerti kenapa musti gambar pohon?
Kenapa dengan gambar itu? Apa sih yang terjadi di malam saat pesta? Kenapa Melinda diam? Nah itu jawaban yang harus dibaca sendiri 🙂
Speak amat sayang dilewatkan, kisahnya bisa dibilang berat sekaligus tidak berat. Inspiratif, gelap dan tak terlupakan. Terbukti dengan banyaknya penghargaan yang diperolehnya, memenangkan 8 penghargaan dan belum lagi menjadi 11 finalis book award di antaranya A Publishers Weekly Best Book of the Year, A New York Time Best Beller dan masih banyak lagi.
Speak adalah buku ketiga Lauris Halse yang saya baca selain Wintegirls dan Catalyst. Ciri khasnya masih sama mengambil tokoh remaja putri bermasalah dan masalah itu bisa saja menimpa kita ataupun teman di sekitar kita. A must read book.
Speak telah difilmkan dengan judul yang sama, diperankan oleh ‘Bella’ Kristen Stewart pada tahun 2004. Ada yang punya filmnyakah? Mau pinjam dong 😀
Speak movie poster
Menurut saya Kristen lebih cocok berperan sebagai Melinda dibanding Bella loh! Pas banget mukanya. Yuk diliat trailernya.
Bintang 5 dan seperti biasa tak tahu juga apa yang salah dengan diri saya yang selalu saja kesusahan jika hendak mereview buku yang sukses mencampuradukkan emosi. Bisa jadi karena saya sadar kualitas review saja jadi mau tak mau buku dengan predikat bintang 5 memberikan beban tersendiri buat saya. Lah, jadi curhat. Yuk ah, saya coba menceritakan isi buku yang sukses membuat mata saya bengep dan bengkak, tissue yang habis berlembar-lembar dan tatapan bengong sang pacar saat melihat saya meneteskan air mata, kebetulan bab akhir yang fenomenal ini dibaca saat saya mengantar doi bagian fisioterapi. Hihi, jangan-jangan pasien lain malah berpikir pacar tertimpa bencana besar kali sampai saya nangis sesenggukan. Oia, bicara soal moment, Astrid malah lebih heboh membaca buku ini saat honeymoon! Haduh 😀
Gold Edition
Sinopsis :
Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam.
Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi.
Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!
Kalimat itu sering kali diucapkan ibunya setiap kali Mariam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak. Dan kenekatan Mariam harus dibayarnya dengan sangat mahal. Sepulang menemui Jalil secara diam-diam, Mariam menemukan ibunya tewas gantung diri. Sontak kehidupan Mariam pun berubah. Sendiri kini dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah kepahitan sebagai anak haram. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.
Buku yang mengisahkan 2 wanita beda generasi yang bersatu karena takdir ini dimulai dengan kisah Mariam. Seorang gadis kecil, anak haram yang hidup terpencil bersama ibunya yang menderita epilepsi. Nana, sang ibu adalah sosok yang penuh dengan kepahitan, digosipkan sering dirasuki oleh jin sehingga batal menikah. Nana menjadi pembantu di rumah Jalil, pria kaya yang memiliki 3 istri. Nasib mulai mempermainkan hidup Nana ketika perut Nana yang membuncit. Istri-istri Jalil mengusirnya. Ayah Nana sendiri tidak mau mengakuinya sebagai anak. Dan Jalil ternyata tidak cukup memiliki keberanian untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, alih-alih Jalil mengucilkan Nana di Desa Gul Daman, bukit terjal yang jauh dari mana-mana.
Proses kelahiran Mariam adalah ringisan pertama saya saat membaca buku setebal 507 halaman ini. Duh, seram! Mariam tumbuh tanpa kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tua, walaupun ia rutin dikunjungi oleh Jalil, tetap saja ia merindukan kehangatan keluarga. Hal itulah yang membuatnya nekat mengunjungi ayahnya di kota. Tindakan yang mengubah seluruh hidup Miriam, ayah menolaknya, ibunya bunuh diri, belum cukup pengarang mengagetkan kita, Mariam bahkan dipaksa menikah dengan duda tua teman Jalil.
Ah, Mariam, sungguh malang nasibmu.
Pernikahan Mariam dengan bapak tua yang digambarkan ala om-om tambun adalah peristiwa kedua yang kembali membuat saya meringis dan tangan saya mulai dingin saat adegan malam pertama Mariam. Untungnya kisah bergulir cepat dan Mariam hamil. Nah, bagian ini sedikit membuat saya bernafas lega. Dan itu tidak berlangsung lama, ada kejadian yang sebaiknya tidak saya tulis karena takut akan memberikan spoiler yang jelas akan mengurangi kenikmatan membaca. Pokoknya mulai pertengahan buku Khaled Hosseini berhasil memutarbalikkan perasaan dan emosi saya seenak hatinya. Ngilu, tercabik-cabik, tidak tahu kata apa lagi yang pas untuk melukiskan bagaimana saya mengikuti jalan hidup Mariam. Jengkel, dongkol juga saya rasakan ketika Rasheed, suami Mariam marah karena masakan Mariam kurang berkenan ia menjejalkan batu untuk Mariam kunyah. Tsk, bahkan saat menulis review ini emosi saya kembali bergolak.
Bagian ketiga, di saat saya sudah mulai terikat dengan karakter Mariam yang bahkan hawa panasnyapun seakan bisa saya rasakan, pengarang seakan mempermainkan pembaca. Kita dibawa ke kehidupan Laila, remaja putri yang hidup di keluarga terpelajar walau ibunya sedikit mengalami gangguan jiwa. Khaled Hosseini seakan menunjukkan kekontrasan hidup wanita di Afganistan. Laila hidup bahagia, teman-temannya banyak, ayahnya pintar dan apalagi ada teman laki-lakinya yang menjadi favorit saya di buku ini, Tariq. Dan seperti biasa dalam sekejap nasib bisa berubah. Sampai di sini saya tidak akan bicara lebih jauh, yang jelas mulai bagian ketiga di pertengahan buku para pembaca akan diajak menaiki roller coaster Afganistan melalui bagaimana kehidupan Mariam dan Laila dipermainkan oleh takdir kehidupan yang muncul dalam bentuk perang, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana cinta dan harapanlah yang membuat mereka bisa bertahan hidup.
“Sebuah cerita tentang harapan akan kemenangan, juga kekuatan menepis ketakutan. Sungguh megah!” – New York Daily News
“A Thousand Splendid Suns, tidak hanya menyuguhkan kepada pembaca tentang realitas Afghanistan, tetapi juga menunjukkan kemampuan dan bakat Hosseini; melodrama dari setiap plot; pelukisan yang tajam; penggambaran karakter hitam-putih; dan pengolahan emosi yang memukai.” – New York Post
“… kisah yang sangat memilukan tentang perjuangan perempuan Afghan dalam mengarungi kerasnya hidup.” – Entertainment Weekly
“Prosa Hosseini begitu menghunjam. Ia tidak hanya mengungkap sisi politik, tetapi juga sisi paling personal ….” – The Guardian
Penggalan review di atas tidak cukup mewakili apa perasaan saya mengenai isi buku ini, memang bagi penggemar happy ending yang menghindari novel sedih ada baiknya saya berikan peringatan lebih dahulu. Tidak, buku ini bukan untuk pembaca berhati lemah, tapi bagi anda yang ingin membaca bacaan berkualitas tentang cinta, harapan dan perjuangan luar biasa wanita-wanita yang memang nyata adanya A Thousand Splendid Suns wajib dibaca.
Ingat bawa tissue ketika mendekati bab akhir.
You’ve been warned.
Saya baca buku terbitan Mizan Gold Edition, terjemahannya enak dan mengalir, covernya paling bagus di antara edisi lainnya. Perempuan muda yang nampak di cover termenung tapi seakan langit cerah di belakangnya mengisyaratkan ada bahagia yang menanti, ada thousand splendid suns 🙂 Sedangkan cover di bawah ini yang terasa hanya sedihnya saja.
Versi lebih muram
A Thousand Splendid Suns, dipilih pengarang untuk dijadikan judul berdasar puisi dari Saib Tabrizi :
Every street of Kabul is enthralling to the eye
Through the bazaars, caravans of Egypt pass
One could not count the moons that shimmer on her roofs
And the thousand splendid suns that hide behind her walls
Quote favorit saya :
“Behind every trial and sorrow that He makes us shoulder, God has a reason.”
Dan ada satu paragraf yang diucapkan Nana kepada Mariam, tajam, dalam dan mengiris hati : “Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus, anakku: Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke Utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam.”
Detail buku : A Thousand Splendid Suns
Pengarang : Khaled Hosseini
507 halaman, Edisi Gold, cetakan I, Desember 2010.