2013 · BBI · Gramedia · inspiring · journal · karya anak negeri · memoar · tears

[Review] Titik Nol – Agustinus Wibowo

Catatan perjalanannya tidak banyak menekankan pada petualangan pribadi atau beragam keberhasilan yang dicapainya, melainkan berisi orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanannya. Tulisan-tulisannya lebih memberi penghormatan pada kenangan-kenangan tentang mereka yang telah menyentuh, memperkaya, mencerahkan hidupnya. Merekalah yang menjadi alasan kenapa Agustinus bisa lolos dari zona perang tanpa terluka sedikit pun, melewati wilayah-wilayah sulit dengan mudah, dan melakukan perjalanan panjang dengan dana amat terbatas.

Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan.

Lam Li, Oktober 2012.

Titik Nol
Titik Nol

Kalimat pembuka oleh sahabat Agustinus Wibowo sangat pas menggambarkan buku setebal 552 halaman dan sekaligus menjadi penyebab ia mendapat rating 4 lebih di Goodreads. Berbeda dengan Selimut Debu, atau pun buku-buku perjalanan lainnya yang semakin banyak saja kita jumpai di toko buku. Titik Nol terasa sangat hangat. Personal. Menyentuh. Bahkan di beberapa bagian terasa sangat menyesakkan dan bolak balik saya menitikkan air mata. Tidak heran baru rilis beberapa minggu dan sekarang sudah dicetak ulang lagi.

Sampul depan Titik Nol begitu mengundang. Biru cerah dengan anak melompat dari pohon. Bebas. Berani. Nekat. Sebagaimana penulis yang juga pengembara, musafir, you named it. Menurut saya Agustinus Wibowo adalah laki-laki pejalan yang nekat. Perjalannya penuh dengan bahaya, dirampok, sakit keras di negeri orang. Buset dah! Titik Nol menjadi buku bacaan saya saat liburan di Lombok. Malu sendiri sudah heboh kepanasan dan stress ketika merasakan ‘keramahan’ penduduk lokal di pelabuhan Bangsal.

Makna sebuah perjalanan.

Tibet. India. Nepal. Afganistan.

Surga. Khailash. Shangri La.

Titik Nol berpusat pada Agustinus Wibowo yang menggabungkan makna perjalanan dan sang Mama yang berjuang menghadapi kanker. Bagaimana kedua hal itu bisa menjadi korelasi yang pas, itulah magnet kuat dan kekuatan penulis merangkai kata sehingga Titik Nol lebih menyerupai buku kehidupan seperti yang ditulis Qaris Tajudin. Justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, ia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini ia abaikan.

Dibedakan dari tulisan tegak yang mengisahkan perjalanan demi perjalanan dan tulisan bercetak miring, pembaca seakan melihat penulis dari dua sisi. Sebagai seorang pejalan yang mencari arti hidup, berpetualang dengan gagah berani dan sekaligus kita melihat Agustinus yang ternyata adalah manusia biasa. Tak lepas dari kecemasan, ketakutan, kesedihan.

Membaca Titik Nol, saya merasa ikut didongengi oleh Agustinus, sebagaimana bab demi bab ia menceritakan kisah Safarnama kepada sang Mama.

Jarak dan waktu memang sempat menjadikan hubungan ibu dan anak ini seperti tuan rumah dan tamu yang saling dipenuhi rasa sungkan. Tapi penyakit ini telah mengubah kami, yang kini tak segan mengucap kata ‘cinta’, berbagi ciuman dan belaian sayang. Penyakit ini membuatku menemukan Mama, mengalami keluarga, memberi makna baru pada rumah. Perjumpaan dan perpisahan, kegembiraan dan penderitaan, semua adalah anugerah. hal 334.

Pramoedya pernah berkata, hidup ini bukan pasar malam. Di tengah pesta kehidupan, kita tidak berbondong-bondong datang. Satu per satu kita datang, satu per satu kita berjalan dan menjelajah, satu per satu kita menciptakan kisah kita masing-masing, hingga tiba saatnya nanti satu per satu kita mengakhiri jalan ini-pulang. (hal 526).

Terima kasih Agustinus, untuk kesediannya berbagi kisah perjalananmu kepada kami. Membaca Titik Nol adalah suatu pengalaman berharga, menelusuri negeri yang mungkin tidak akan pernah saya pijak, terutama lagi mengingatkan saya akan mami di nirwana sana.

Setiap kisah, perjalanan, penantian, perjuangan, pengharapan dan kekuatan, tentu ada batas akhirnya. Dan selama masih ada waktu yang diberikan sang Pencipta, mari bersama kita buat kisah hidup kita berarti.

-Mia-

*edisireviewmepet*

 

inspiring · memoar

When God Was a Rabbit

When God Was a Rabbit memiliki magnet tersendiri buat saya, dari judulnya yang ‘nakal’, cover hangat ditambah dengan latar pasangan siluet laki-laki dan perempuan. Awalnya saya pikir WGWaR adalah buku drama yang manis. Salah besar ternyata :p

versi Bentang
versi Bentang

When God Was a Rabbit adalah buku drama komedi satir yang kompleks. Pahit sekaligus juga manis. Terbagi menjadi 2 bagian, yang pertama memoar Elly saat ia kecil dan bagian kedua ketika Elly menginjak usia yang ke 27. Tulisan Sarah Winman langsung terasa ‘megang’ sejak awal kisah.

 “Apakah Tuhan mengasihi semua orang”, tanya Elly kepada mamanya.

“Tentu saja”

“Apakah Elly mengasihi pembunuh?”, rupanya Elly belum puas bertanya.

“Ya”

“Perampok?”

“Ya”

“Tinja?”

“Tinja bukan mahluk hidup, Sayang”, kata Mum serius.

“Tapi, kalau iya, akankah Tuhan mengasihinya?”

“Ya, kurasa begitu.” – halaman 9 –

😀

Saya jatuh cinta dengan karakter Elly, gadis kecil yang kritis, bolak balik saya dibuat tersenyum dengan pertanyaan ataupun kalimat yang ia ucapkan. Seperti yang ada di pikirannya : Aku sudah menetapkan bahwa bila Tuhan ini tidak mengasihiku, sudah jelas aku harus mencari Tuhan lain yang bisa (hal12).

Kesatiran When God Was a Rabbit tampak jelas di halaman 18, ketika Elly mulai menjalin persahabatan dengan Mr. Golan, tetangganya yang ‘katanya’ orang Yahudi. Ia ingin menjadi orang Yahudi, pertanyaannya ke Mum, “Katamu aku boleh jadi apa saja yang kumau kalau sudah besar.”

“Memang, tapi menjadi Yahudi itu tidak mudah lho.”

“Aku tahu. Aku butuh nomor.”

*hening*

Tapi kegembiraan saya tidak berlangsung lama, halaman 20an ada kejadian yang tak terduga yang mau tak mau membuat saya mengambil kesimpulan buku ini bukan buku biasa.

Ayah Elly adalah seorang Atheis. Joe, kakak lelakinya yang lima tahun lebih tua sedari kecil suka memakai lipstik mamanya di saat malam tiba. Tantenya juga memiliki disorientasi seksual. Walaupun WHen God Was a Rabbit termasuk dalam kategori ‘light read’ tapi isinya berat. Pelecehan seksual, kanker, penculikan, mutilasi adalah sebagian dari permasalahan yang ada di sekeliling Elly.

Membaca When God Was a Rabbit seakan-akan saya menonton film Indie, original dan bukan pakem buku drama pada umumnya. Kaget juga saya ketika tahu ini buku adalah buku pertama Sarah Winman. Kalau yang berminat membaca buku yang lain dari yang lain, When God Was a Rabbit patut dicoba, jangan terkecoh dengan judul dan covernya. Buku ini berkisah tentang keluarga, cinta, tragedi, kehilangan.

This is a book about a brother and a sister. It’s a book about secrets and starting over, friendship and family, triumph and tragedy, and everything in between. More than anything, it’s a book about love in all its forms.

Indeed.

Salut untuk Penerbit Bentang yang jeli menerbitkan buku ini ke bahasa Indonesia di saat yang tepat, sedang hangat-hangatnya nih di bookdepository.com selain buku karangan Georde R. R. Martin – serial Game of Thrones. Masalah terjemahan? Masih perlu diragukan kualitas mbak Rinurbad? 🙂

4 bintang.

cover versi USA
cover versi USA
versi UK
versi UK

Saya cantumkan 2 versi luarnya, IMO setelah membaca sepertinya cover Amerika yang lebih ‘pas’ dengan isi bukunya.

Detail buku : When God Was a Rabbit – Sarah Winman, 398 halaman, cetakan I – Agustus 2011. Penerbit Bentang. Penerjemah : Rini Nurul Badariah.