Sebelum saya bercuap-cuap mengenai siapakah Ivan dan betapa bagusnya buku ini, ada baiknya kita melihat book trailernya sejenak yuk!
Bagaimana? Menarik kan? Walau bekson lagunya lumayan menyayat hati dan ceritanya juga sih tapi buku pemenang Newberry Medal 2013 sangat sayang dilewatkan lho.
Saya sudah menyukai buku ini sejak halaman pertama, dibuka dengan bab berjudul hello.
hello Ivan!
People call me the Freeway Gorilla. The Ape of Exit 8. The One and Only Ivan, Mighty Silverback.
The names are mine but they’re not mine. I am Ivan, just Ivan, only Ivan.
Humans waste words. they toss them like banana peels and leave them to rot.
Everyone knows the peels are the best part.
I suppose you think gorrilas can’t understand you. Of course, you also probably think we can’t walk upright.
Try knuckle walking for an hour. You tell me. which way is more fun?
Sengaja saya mengetik ulang chapter selanjutnya untuk mengenalkan kepada pembaca bagaimana Katherine Applegate sedemikian piawainya menyuarakan Ivan, seekor gorila yang pintar namun kesepian. Di beberapa bagian pengarang seolah ingin menyadarkan dan mengingatkan kembali, hei manusia, janganlah serakah dan kasihilah sesama mahluk ciptaanNya.
Ivan tinggal di dalam mall dan hidup bersama teman baiknya Stella, seekor gajah dan Bob si anjing yang tak bertuan. Ivan dan Stella bertugas rutin 3 kali sehari 365 hari di antara riuhnya suara carrousel, monyet dan pengisi sirkus lainnya. Ivan suka menggambar, bahkan sering kali lukisannya laku terjual. Adalah Julia, anak penjaga kandang yang menjadi sahabat Ivan, Bob dan Stella yang mengamati kebiasaan Ivan, sehingga ia sering memberikan kertas dan krayon baru untuk Ivan. Berkat Julia jugalah hobi Ivan ini berperan penting dalam kelanjutan nasib mereka yang mulai berubah sejak kedatangan Ruby, seekor bayi gajah.
Ivan sebagai seekor silverback yang harus menjaga keluarganya, ketika masalah menimpa Ruby dan janjinya dengan Stella harus ditepati, mampukah Ivan menyelamatkan keluarganya hanya dengan hobi yang ia punya yang tak lain tak bukan adalah menggambar?
Seperti apa kelanjutan kisah Ivan, Ruby dan kawan-kawan? Saya tidak melanjutkan demi mencegah kenikmatan pembaca, yang jelas buku ini ditulis dengan narasi yang sangat sederhana namun begitu membekas. Banyak juga yang mengkategorikan The One and Only Ivan sebagai buku penguras air mata >.<
The Real Ivan
Sedikit info yang ingin saya tambahkan tokoh Ivan diambil dari gorila silverback yang hidup di Atlanta Zoo dan memang senang menggambar. Ivan diambil sejak kecil dari komunitasnya di Congo dan hidup bersama manusia sampai ia tidak bisa ditangani lagi kemudian diserahkan ke sirkus. Informasi mengenai Ivan bisa dilihat di theoneandonlyivan.com
Salut banget kepada penulis yang sepertinya memang cinta banget kepada binatang, terlihat dari buku karangannya rata-rata pasti bertema binatang.
Salah satu buku terbaik yang membuka bacaan saya di Januari 2014. 4 bintang. Adakah yang sudah membacanya dan siapakah yang menjadi tertarik membaca buku ini? Sharing di sini bersama saya ya dan jangan meninggalkan spoiler 🙂
PS. Buku ini dibaca dalam rangka membaca bareng fabel bersama BBI bulan Januari 2014.
Hola! Begini deh penyakit orang sok sibuk, blog terbengkalai berbulan-bulan, kalau tidak digerakkan oleh buku berbintang lima bisa jadi blog ini tidak tersentuh. Jadi, buku siapakah gerangan yang sanggup merontokkan kemalasan saya? Tidak lain tidak bukan adalah The Light Between Oceans, buku terbaik tahun 2012 versi Goodreads.
Tom Sherbourne, released from the horrors of the First World War, is now a lighthouse keeper, cocooned on a remote island with his young wife Izzy, who is content in everything but her failure to have a child.
One April morning, a boat washes ashore carrying a dead man – and a crying baby. Safe from the real world, Tom and Izzy break the rules and follow their hearts.
It is a decision with devastating consequences.
This is a story about right and wrong and how sometimes they look the same.
Stedman menggiring pembaca untuk melihat kisah Tom – Izzy dari beberapa sudut pandang, sehingga tagline yang dipakai The Light Between Oceans di atas sangat pas untuk buku ini. Tom, seorang pria yang digambarkan sangat polos namun memendam banyak kepahitan, hidupnya menjadi berwarna sejak menikah dengan Isabel. Mereka hidup bahagia walau di tempat terpencil, di Janus Rock sembari Tom menjadi penjaga mercusuar. Namun kebahagiaan mereka terkikis perlahan seiring dengan keguguran demi keguguran yang dialami Isabel.
Dan out of the blue, di suatu hari Tom dan Isabel mendapati sekoci yang berisi 2 penumpang, seorang pria yang telah meninggal dan bayi perempuan. Bayi. Perempuan! Isabel yang baru beberapa saat lalu keguguran ternyata mampu menyusui. Awalnya hanya demi menyelamatkan bayi dari hipotermia, namun siapa yang bisa menandingi kebahagian wanita menggendong bayi? Isabel merasa utuh sebagai manusia dan menganggap bayi ini adalah hadiah dari Tuhan, ia berkeras ingin mempertahankan walau Tom masih ragu-ragu, namun demi Isabel akhirnya Tom menguburkan laki-laki tak dikenal itu.
Lucy, nama yang mereka berikan untuk sang bayi. Lucy, kehadirannya mengubah segalanya.
Di sisi kota yang lain, Hannah Roennfelt masih berusaha mencari kabar suami dan anaknya yang hilang. Sampai suatu ketika Tom dan Isabel malah bertemu langsung dengan Hannah. Kesedihan, kebingungan, wajah tirus dan mata kosong menghantui Tom. Akankah ia mengakui kesalahan yang ia lakukan beberapa waktu lalu? Walau itu artinya mengorbankan kebahagiaan Isabel atau lebih lagi membahayakan mereka keselamatan mereka berdua?
What happens next will break your heart.
Dijamin.
Saya tidak akan memperpanjang review di atas karena tentunya akan mengganggu kenikmatan membaca. Yang jelas saya mengerti kenapa The Light Between Oceans menjadi buku pilihan pembaca, semua tampak abu-abu di sini, benarkah? Salahkah? Anda sendiri yang menilai dan saya di sini sebagai pembaca yang belum merasakan jadi ibu pun terenyuh melihat pergumulan Isabel dan Hannah. Kekosongan hati Hannah, kegalauan Tom, keputusasaan Isabel diangkat dengan baik oleh Stedman, bahasanya yang puitis dan nyata sukses membius saya.
Seperti kalimat di bawah ini :
“When he wakes sometimes from dark dreams of broken cradles, and compasses without bearings, he pushes the unease down, lets the daylight contradict it. And isolation lulls him with the music of the lie.”
atau ini :
“Humans withdraw to their homes, and surrender the night to the creatures that own it: the crickets, the owls, the snakes. A world that hasn’t changed for hundreds of thousands of years wakes up, and carries on as if the daylight and the humans and the changes to the landscape have all been an illusion.”
Kabar terbaru menurut THR, TLBO akan segera diangkat ke layar lebar. Can’t wait!
Sigh. Susahnya mereview bintang 5, apalagi macam Me Before You tanpa spoiler. Jadi begini, saya percaya yang namanya buku itu kadang ‘memanggil’ pembacanya. Buku juga memiliki jiwa untuk mengetahui siapa pembaca yang tepat untuknya. Bentar, bentar, kok jadi horror? Ah, tapi teman-teman mengerti maksud saya kan? Saya lupa asal muasal bisa tertarik dengan buku ini, one click leads to another sepertinya, dan ketika adik saya pergi ke luar, saya dengan pedenya nitip dibelikan Me Before You. Covernya cantik, rating lumayan, dan siapa itu Jojo Moyes saya juga ga kenal. *sok kenal dengab penulis, padahal baru kenal dengan Agustinus Wibowo doang*
Me Before You
Yuk lanjut, Me Before You berhasil saya lalap dalam waktu 2 hari, pertengahan menitikkan air mata sedikit, 2/3 ke belakang mulai tes-tes-tes, bagian belakang mewek sampai mata bengkak dan merah. Memang saya lebay, gampang menangis, dan yang saya tekankan di sini bukan buku ini sedemikian sedihnya hingga perlu tissue saat membacanya tapi bagaimana kehebatan Jojo Moyes menciptakan karakter-karakter yang hidup. Sangat hidup. Buku ini sudah saya beberapa bulan lalu, namun sampai sekarang saat saya menulis review masih terbayang-bayang. Jarang-jarang saya ingin baca ulang buku, tapi Me Before You yang jelas menjadi kandidat buku favorit tahun 2013 adalah satu di antaranya.
Sinopsis dari bagian belakang buku:
Lou Clark knows lots of things. She knows how many footsteps there are between the bus stop and home. She knows she likes working in The Buttered Bun tea shop and she knows she might not love her boyfriend Patrick.
What Lou doesn’t know is she’s about to lose her job or that knowing what’s coming is what keeps her sane.
Will Traynor knows his motorcycle accident took away his desire to live. He knows everything feels very small and rather joyless now and he knows exactly how he’s going to put a stop to that.
What Will doesn’t know is that Lou is about to burst into his world in a riot of colour. And neither of them knows they’re going to change the other for all time.
Bukan dalam rangka ikut-ikutan Uni bicara soal takdir *disepak*, takdir menemukan Lou dan Will dalam suatu kejadian tak terduga. Will yang dulunya petualang, playboy, businessman sukses bukanMrGrey, siapa sangka nasibnya berubah drastis ketika kecelakaan sepeda motor. Will menjadi lumpuh (quadriplegic), ia tak lagi bisa melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain, sudah 2 tahun Will bertahan. Kesabaran orang ada batasnya, begitu kata pepatah. Will lelah dan ketika Will menghubungi Dignitas (a group that helps those with terminal illness and severe physical and mental illnesses to die assisted by qualified doctors and nurses), pembaca sudah bisa membaca ke mana arah cerita ini. Lou, gadis eksentrik, gemar berbusana antik dipecat dari kerjaannya dan seperti saya bilang tadi, takdir menyatukan mereka berdua, Lou butuh uang dan ibu Will melihat sesuatu yang tak biasa dalam diri Lou sehingga beliau menggaji Lou sebagai asisten Will, walau ada niat yang lebih besar di balik itu.
Bagaikan dua kutub magnet *tsaahbahasagueeeh* chemistry Will yang pesimis dengan hidup dan Lou yang begitu polos namun sesekali meledak-ledak menjadi kekuatan novel Me Before You. Lou mengajak Will melihat dunianya dari sisi seorang gadis lugu yang tidak pernah bermimpi muluk-muluk sedangkan Will yang hari lepas hari menyadari ada potensi yang besar dari Lou.
Saya ikut bangga dan senang ketika perlahan tapi pasti Will yang lelah dengan hidup mulai membuka diri dan Lou yang slebor, mudah dibully mulai berani bermimpi. Banyak adegan mengharukan yang muncul terlebih lagi saat ulang tahun Lou. Dan ketika semua berjalan baik-baik saja, kita tahu yang ada di halaman berikutnya pastilah ada sesuatu. Lou dan Will jatuh cinta, mampukah cinta Lou membangkitkan nafsu hidup Will?
“I kissed him, trying to bring him back. I kissed him and let my lips rest against his so that our breath mingled and the tears from my eyes became salt on his skin, and I told myself that, somewhere, tiny particles of him would become tiny particles of me, ingested, swallowed, alive, perpetual. I wanted to press every bit of me against him. I wanted to will something into him. I wanted to give him every bit of life I felt and force him to live.”
Sesuatu yang lebih dari sekadar apakah buku ini akan berakhir bahagia atau tidak. Pembaca akan diajak berpikir lebih jauh tentang hidup oleh Jojo Moyes tanpa terkesan menggurui. Seberapa berarti hidupmu? Masih berarti ketika kamu tidak lagi bisa mengerjakan apa pun? Boleh jadi kita berpikir betapa bodohnya Will, tapi Jojo Moyes juga menunjukkan bagaimana berat hidup yang sepenuhnya dan seumur hidupnya bergantung dari orang lain. Tidak ada yang benar dan yang salah. Dan saya menutup buku ini dengan hati sesak namun saya juga merasakan gelenyar hangat di dada.
“You only get one life. It’s actually your duty to live it as fully as possible.”
Petuah Will di bawah ini sangat menggetarkan hati saya.
“Push yourself. Don’t settle. Wear those stripy legs with pride. And if you insist on settling down with some ridiculous bloke, make sure some of this is squirreled away somewhere. Knowing you still have possibilities is a luxury. Knowing I might have given them to you has alleviated something for me.”
Sebelum Mengenalmu
Me Before You sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia juga lho, saya belum cek tapi dari beberapa teman saya dengar bahwa harganya lumayan. Oh well, untuk mengenal Will dan Lou dan merasakan rollercoaster emosi saat membacanya saya pikir harga yang ditawarkan pasti sesuai. Wajib baca. You’ll gonna love this book, bagi yang ga nangis, uang kembali! #lah
Oia, satu quote lagi yang ingin saya bagikan, ketika Lou dan Will pulang berkencan.
“I turned in my seat. Will’s face was in shadow and I couldn’t quite make it out.
‘Just hold on. Just for a minute.’
‘Are you all right?’ I found my gaze dropping towards his chair, afraid some part of him was pinched, or trapped, that I had got something wrong.
‘I’m fine. I just . . . ’ I could see his pale collar, his dark suit jacket a contrast against it. ‘I don’t want to go in just yet. I just want to sit and not have to think about . . . ’ He swallowed. Even in the half-dark it seemed effortful. ‘I just . . . want to be a man who has been to a concert with a girl in a red dress. Just for a few minutes more.’ I released the door handle. ‘Sure.’ I closed my eyes and lay my head against the headrest, and we sat there together for a while longer, two people lost in remembered music, half hidden in the shadow of a castle on a moonlit hill.”
OMG. :’)
Udah deh, pokoknya harus baca buku me Before You, ya ya ya? Tidak akan menyesal, saya bahkan saat menulis review ini hati bagaikan ditujes-tujes dan ingin mengulang. Huks.
Sudah ah, pamit semuanya, jangan lupa kabari saya kalau sudah baca #teteplho #mustinyangelamarjadimarketinggramed #plak
Seserderhana tertawa saat nempelin kertas bertuliskan “Aku orgil” di punggung teman.
Sesederhana nemuin 2 tazos di sebungkus Chiki.
Hell, yeah!
Sebagian dari kebahagiaan sederhana anak-anak imut macam saya di tahun 90an. Kalau saya boleh ikut berpartisipasi di halaman pembuka buku Generasi 90an saya akan menambahkan :
Bahagia itu sesederhana boleh tidur malam lewat dari acara Dunia Dalam Berita.
Sesederhana berhasil makan arum manis secara sembunyi-sembunyi.
generasi-90an
Bisa dibilang saya seakan menemukan harta karun saat membaca Generasi 90an karya Marchela FP. Senyum-senyum bahkan ngakak-ngakak najis sendirian. Secara garis besar, buku yang mayoritas berisi ilustrasi Marchella dan jangan lupakan jadwal acara RCTI!! menceritakan WHO, WHAT, WHERE yang berbau 90an. Beberapa hal yang berkesan akan saya bagikan di bawah ini.
Let’s relive our 90s memory!
1. Sinetron!
Dulu saya penggemar sinetron lho. Abad 21, Tersanjung *sebelumsampaitaraftersandung-sandung*, sampai Noktah Merah Perkawinan yang digambar apik oleh Marchella.
2. Serial TV.
Dulu saya ingat setiap selasa pasti nyetel SCTV, saatnya Selasa Drama dong :p Kalau serial juaranya tetap dipegang oleh RCTI.
baca pesan paling bawah deh :p
Senin : Miami Vice
Selasa : Riptide
Rabu : Knight Rider
Kamis : Airwolf.
Jumat : Mac Gyver, quote yang ada di Generasi 90an di bagian ini bikin ngakak.
Hidup itu pilihan, semua ada risikonya. Mac Gyver ada bingung mau potong kabel biru atau merah.
Bhihik, ini yang angkatan 90an pasti sudah nostalgia nih, jangan lupakan Wings, Law and Order oh dan tentu saja! Friday 13 tahun! 😀
Untuk serial ABG mulai dari Saved by the Bell, Boys Next Door, Vicky dan silahkan dilanjutkan sendiri.
3. Kuis-kuis 90an
Dulu hidup kita seimbang, emosi diasah lewat sinetron, otak diasah lewat kuis.
Bener banget, tiap malam habis belajar waktunya nongkrongin kuis, bahkan saya bercita-cita untuk ikutan acara Kata Berkait dan Piramida, sedangkan ayah saya terobsesi untuk ikutan Kuis Keluarga Lifeboy, entah penasaran dengan acara menggambarnya atau minta tanda tangan Cathyy Boon 😀
4. Must have items.
Must have items
Nah ini, mulai dari pin up boyband sampai G-Shock yang ibaratnya baik haji bagi generasi 90an (wajib punya bila mampu) 😀
Dan jangan lupakan sepatu ada lampu-lampu, merknya saya masih inget, LA Gear! err, tapi dulu ga punya sik , jaman SMA yang ngetrend sepatu bening jelly yang dipopulerkan Guess, nah ini juga masih ga punya ;D
Punya satu baju Alien Workshop aja sudah berasa tingkat kecantikan mengalahkan kakak kelas yang mayoret loh #tsah!
Kalau mau diterusin bisa-bisa satu buku saya ceritakan semua, tapi yang wajib diposting adalah gambar di bawah ini!
ring a bell? :p
Ada hari di mana kita harus berenti sebentar, nengok ke belakang lalu bersyukur. @Generasi90an.
Terima kasih Marchella berkat karya akhirmu ini kami para angkatan 90an mengenang kembali tazos, tetris bego lu, MTV, camilan SD dan ke-alayan maksimal yang tertuang di buku diary lengkap dengan tulisan panjang ke bawah salam-manis-selalu.
Thank you! 🙂
Penulis bisa dijumpai di sini. Bagi yang sudah baca dan merasa generasi 90an, masih belum beli juga? Keterlaluan *geleng-gelengalabangRhoma*
PS. Harga memang lumayan mahal, tapi demi kenangan yang sedemikan indahnya, tentu saja, amat sangat pantas.
Don’t judge a book by its cover. Familiar, yes? Bagaimana dengan don’t judge a boy by his face?
Wonder
Lahir dengan kelainan Mandibulofacial Dysostosis, sebuah kondisi rumit
yang membuat wajahnya tampak tidak biasa walau sudah menjalani sepuluh kali operasi. August diperkenalkan langsung kepada pembaca melalui prolog berjudul ‘biasa’.
Aku tahu aku bukan anak berumur sepuluh tahun biasa. Maksudku, memang aku melakukan hal-hal biasa. Aku makan es krim. Aku bersepeda. Aku memiliki XBox. Rasanya sih begitu. Tapi aku tahu anak-anak biasa tidak menyebabkan anak-anak biasa lainnya berlari meninggalkan taman bermain sambil menjerit-jerit. Aku tahu anak-anak biasa tidak pernah diperhatikan ke mana pun mereka pergi.
Seandainya aku menemukan sebuah lampu ajaib dan mendapatkan sebuah permohonan, aku akan memohon agar aku memiliki wajah normal yang tidak akan pernah diperhatikan siapa pun.
…..
Omong-omong, namaku August. Aku tidak akan menggambarkan seperti apa tampangku. Apa pun yang kaubayangkan, mungkin keadaannya lebih buruk.
Penutup bab pertama lumayan ‘nyesek’ dan seakan memberikan peringatan kepada pembaca, prepare for the worst.
Saat August lahir dengan keadaan kritis, perawat di rumah sakit membisikkan kalimat penguatan untuk ibu August, “Semua orang yang terlahir dari Tuhan bisa menghadapi dunia.”
Mom bilang, saat itu mereka sudah menceritakan semuanya mengenai aku. Mom sudah mempersiapkan diri untuk melihatku. Tetapi, Mom bilang, saat menunduk dan menatap wajah kecilku yang berantakan untuk pertama kalinya, yang disadari Mom hanyalah betapa indahnya mataku.
Omong-omong, Mom cantik. Dan Dad tampan. Via juga cantik. Kalau kau penasaran.
Kenapa saya rela susah payah mengetik ulang ketimbang copy paste sinopsis dari Goodreads? Karena saya ingin menunjukkan karakter August ini begitu loveable, siapa yang tidak jatuh hati dan ingin memberikan ‘puk-puk’ bahkan pelukan untuknya. Apalagi caranya bercerita seakan August hadir nyata di sekitar saya. Salut untuk R. J. Palacio!
Keadaan yang bertambah buruk. Semuanya dimulai ketika August bersekolah di Beecher Prep, pandangan mata yang menusuk, August dianggap mengidap penyakit menular, banyak hal yang ia dapati selama bersekolah. Julian, laki-laki menyebalkan yang kerap kali mengejek August. Oh how i hate that guy! Anyway, banyak hal menyenangkan juga yang August lewati, ia memiliki kepala sekolah bernama aneh yang bijaksana, ia memiliki teman unik bernama Summer yang selalu menjadi teman duduknya selama di kantin. Serta ia memiliki sahabat karib bernama Jack Will.
Setiap hari adalah perjuangan, kalimat itu lupa saya pernah baca di mana, namun sepertinya pas untuk melukiskan perjalanan hidup August selama ia bersekolah. Hidupnya benar-benar perjuangan dan saya sebagai pembaca merasakan hati ini ditusuk-tusuk *halah* sekaligus persahabatan August dengan teman-temannya juga menghangatkan hati, nyesek banget-banget. Bolak balik saya meneteskan air mata saat membaca buku setebal 427 halaman terbitan Atria ini.
Hal lain yang membuat saya menyukai Wonder adalah sudut pandang yang berbeda-beda. Tidak saya sadari sejak awal karena seratus halaman pertama kita langsung digiring melalui porsi August. Bab kedua diambil dari versi Via, kakak perempuan August.
Ya,saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Via yang tinggal di keluarga di mana salah satu anaknya adalah anak berkebutuhan khusus.
August adalah matahari. Aku, Mom dan Dad adalah planet-planet yang berputar mengelilingi matahari.
Damn, siapa bilang jadi remaja itu adalah hal yang mudah. Setiap kita memiliki masalahnya sendiri dan makanya saya sangat suka kalimat yang digunakan penulis untuk menutup Wonder :
“I think there should be a rule that everyone in the world should get a standing ovation at least once in their lives.”
Selain Via, buku ini juga menggunakan Summer dan Justin, pacar Via sebagai bagian dari narator. Lucunya, saat penulis menggunakan Justin sebagai pov, paragraf yang ada lurus,datar, tanpa huruf kapital dan tanda baca. Sampai awalnya saya pikir, aneh banget ada satu bagian yang lolos dari proofreader, ternyata setelah iseng main-main ke blog penulis, ia mengatakan demikian :
Why is Justin’s part written without uppercase letters and without proper punctuation? I played trombone for seven years through middle school and high school. And I remember thinking back then, especially when I would get into the really low notes, that notes on a musical staff looked a little like lowercase letters of the alphabet. I don’t play anything now but I can still read music, and I still think that way. Ascenders and descenders remind me of half note and quarter notes, depending on where they fall on the staff. The baseline of a letter is a bit like a ledger line. Certain serif faces even have strokes that call to mind that graceful little flag on top of the stem of a note. Maybe it’s because I’ve been a graphic designer for so many years, but I’m trained to see typefaces and fonts not just as communication devices, but as visual cues for other things. So when it came to writing from Justin’s point of view, because he’s a musician, someone who thinks in musical terms, it just seemed natural for me to use lowercase letters to represent his thoughts in a very visual way. He’s the kind of person who doesn’t talk a lot, because he’s naturally shy, but has a lot going on inside. The running monologue inside his head has no time for capital letters or punctuation: it’s like his thoughts are streaming inside his mind.
Keren ya! Dipikirkan sampai sejauh itu!
Banyak emosi dinaikturunkan di buku ini. Siapa coba yang tidak terenyuh hatinya saat August bertanya kepada ibunya, “Kenapa aku harus sejelek ini, Mommy?” >.<
Ketimbang membaca buku motivasi, coba deh baca buku ini. Sesuai dengan tema GRI baca bareng, semangat baru, membaca Wonder membuka hati kita untuk lebih melihat dengan sudut pandang yang baru.
“Courage. Kindness. Friendship. Character. These are the qualities that define us as human beings, and propel us, on occasion, to greatness.”
Beberapa sudut pandang memudahkan pembaca melihat August dari berbagai segi dan saya setuju dengan penulis yang tidak memasukkan sudut pandang sang Ibu.
I purposely left out the parents’ point of views because it would have changed the focus of the book from child-driven to something else, something darker and somewhat more cynical. This is something I didn’t want. It was my choice to end the book on a happy note in Auggie’s life, a time when he feels triumphant and well-loved. But we know that life won’t always be so kind to him, and the adults in the book know that, too. It’s one of the reasons I think adults reading the book get so emotional when reading it—far more emotional than children.
Kalimat di akhir sesuai dengan yang saya rasakan, sepertinya pembaca dewasa akan jauh lebih emosional membaca buku middle – grade. Walau endingnya sedikit Hollywood seperti kata beberapa teman, saya menutup buku ini dengan perasaan hangat dan haru, definetely one of the best book I’ve read.
5 dari 5 bintang.
Trailer :
Bagi yang sudah baca, jangan lewatkan main-main ke sini. Penjelasan-penjelasan kecil mengenai apa yang ada di buku. Mulai dari asal muasal R. J. Palacio mendapat ide menulis Wonder, yang ternyata diilhami pengalaman pribadinya saat melihat anak kelainan kraniofasial waktu membeli es krim bersama anaknya. Wonder, yang menjadi judul buku pertamanya, diambil dari lirik lagu Natalie Merchant.
Doctors have come from distant cities
Just to see me
Stand over my bed
Disbelieving what they’re seeing
They say I must be one of the wonders
Of god’s own creation
And as far as they can see they can offer
No explanation
Newspapers ask intimate questions
Want confessions
They reach into my head
To steal the glory of my story
They say I must be one of the wonders
Of god’s own creation
And as far as they can see they can offer
No explanation
Praise for Wonder :
“You’ll laugh out loud and cry joyful tears following Auggie. This is one of the most moving and purely uplifting books I’ve read in a long while.”
—Rachel Hochberg, Children’s Book World
“Prepare yourself. Your eyes will open, your heart will warm and you will find yourself cheering for August.”
—Judy Hobbs. Third Place Books
“A gentle, totally mesmerising book written in a compelling, realistic style that invites the reader into the intimate daily life of this marvelous, genuine boy and his family and holds them there. It is a powerful story that gives us the world we live in with a clean set of eyes; one you will return to again and again, with voices that will stay with you for a very long time. It is also about being yourself, even if the odds are against you, because in the end, that’s all you can be. For ages 10 and up (through adult readers), ‘Wonder’ is a thoroughly wonderful gift and a book that you must read.”
—Mary Esther Judy, The Bookbag
Aku lupa sejak kapan mengikuti kicauanmu di Twitter, tak butuh waktu lama membuatku rutin mengecek lini masamu. Menikmati tweetmu yang puitis tapi tidak menye-menye atau sekedar berbagi cerita karena kita sama-sama mengidolakan John Mayer. Awalnya aku malah tidak tahu kamu ternyata penulis buku, tapi karena tweetmu sering kali membiusku dan membawaku ke suasana mellow-romantis mau tak mau aku tergoda mencari Blue Romance.
Blue Romance
Dear Sheva,
Firasatku benar rupanya, tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta dengan tokoh-tokoh yang ada di Blue Romance. Malah aku curiga mereka semua nyata adanya. Dan kalau boleh sedikit menyalahkanmu, aku merindukan coffee shop semacam Blue Romance ada di tempatku tinggal. Aku ingin ikut merasakan kehangatan di pojok Blue Romance sembari menikmati secangkir cappuccino yang adalah minuman favoritku.
Dear Sheva,
Rainy Saturday yang menjadi cerita pertamamu, sukses membiusku sejak kamu memasukkan quote ‘Nostalgia is denial. Denial of painful present’. Ah, aku juga sama seperti gadis itu, terkadang lebih memilih hidup di masa lalu. Aku mengerti kepahitannya dan aku turut senang ketika ia berkenalan secara tidak sengaja dengan laki-laki arsitek itu. Hatiku dibuat berdebar-debar dengan endingnya. Suka!
Dear Sheva, cerita selanjutnya berjudul 1997 – 2002. Kisah manis antara Rika dan Niko. Judul yang tidak biasa untuk nostalgia kisah masa kecil Rika. We’ve lost each other, so let’s found ourselves by being together. Indahnya kalimat yang diucapkan Niko itu! Seandainya saja pasanganku bisa bersikap seromantis Niko.
Dear Sheva, setelah sebelumnya kamu membawaku ke suasana hangatnya cinta yang bersatu setelah lima tahun, di Blue Moon kamu memutarbalikkan emosiku dengan bercerita soal ayah. Well, walau sudah tua begini aku tetap menganggap diriku adalah daddy’s little girl. Edi, begitulah nama tokohmu kali ini. Edi yang jauh dari orang tuanya, yang mengadu nasib di Jakarta. Mirip kisahku saat bersekolah di Surabaya dulu, hanya dengan mendengar suara ayah di telepon saja mampu mengungkit semangat yang terkadang lenyap entah ke mana. Walau aku sudah serumah kembali dengan beliau, kami memiliki kesibukan berbeda yang membuat jadwal ngopi bersama di teras rumah berkurang. Besok aku janji, akan menyiapkan waktu lebih banyak untuk ayahku, mumpung libur!
Dear Sheva, tak kusangka ceritamu yang berjudul A Farewell to A Dream yang hanya 26 halaman mampu membuatku menitikkan air mata. Bagaimana hatiku tidak ikut sedih membaca nasih Bima. Bima, yang jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri. Anjani. Bram, yang terpuruk saat Anjani lebih memilih teman dekat Bima, Bram. Tega nian kau, Shev. Tapi mungkin sama seperti kopi, suatu kisah lebih menyesap di dada ketika ada sedikit rasa pahit yang tertinggal.
Dear Sheva, Happy Days sedikit mengingatkanku akan gaya penulisan ala penulis asal Jepang favoritmu. Haruki Murakami. Surreal. Mengambang. Menyakitkan. Indah. Oh, masih soal penulis, betapa senangnya di kisah The Coffee and Cream Book Club kamu mengambil tema dari buku favoritku, The Fault in Our Stars.
Dear Sheva, sedikit kritik mungkin bisa kutambahkan di kisah A Tale About One Day yang kurasa rada aneh. Kai yang kamu kisahkan di sini terkesan lebih tua dari umur sebenarnya, tapi aku suka pilihan lagu untuk penutup Blue Romance. Snow Patrol. Pas untuk kudengar malam-malam dan mungkin itu juga yang membiusku untuk menulis review yang tidak biasa ini.
Dear Sheva,
Sudah aku bilangkah kalau aku resmi menjadi penggemar tulisanmu? Terima kasih untuk Kai, Bima, Niko, Anjani, semua tokoh yang begitu nyata. Tetaplah menulis. Aku menunggu karyamu selanjutnya.
Kali ini saya tidak mencantumkan sinopsis dari Goodreads seperti biasanya, melainkan saya langsung mengetik ulang chapter 1 yang hanya berisi beberapa kalimat.
Here is what I know:
My name is Budo
I have been alive for five years.
Five years is a very long time for someone like me to be alive.
Max gave me my name.
Max is the only human person who can see me.
Max’s parents call me imaginary friend.
I love Max’s teacher, Mrs Gosk.
I do not like Max’s other teacher, Mrs Patterson.
I am not imaginary.
Woohoo! Keren yaaa! Bab awal yang memikat dan langsung menimbulkan efek lengket di tangan, ga lepas kalau ga kelar! Err, walau butuh waktu dua hari untuk menyelesaikannya, yah gimana ya, sibuk siih. *sambil kikir kuku* *plaaak* Yuk ah, balik ke Budo. Jadi Budo ini adalah seorang imaginary friend cukup beruntung. Kenapa saya bilang beruntung? Teman khayalan anak-anak lain belum tentu ‘sesempurna’ Budo, namanya juga anak-anak kan yak? Ada yang cuma item bulet gitu aja tanpa wajah, kaki dan tangan. Ada juga yang tidak punya telinga, mana hidupnya hanya seminggu pulak. Budo bisa hidup selama lima tahun karena Max percaya akan keberadaannya dan notabene untuk ukuran teman khayalan Budo ini lumayan sepuh.
‘Tuhannya’ Budo si Max Delaney adalah bocah spesial berusia 8 tahun, walau sampai akhir kisah tidak disebutkan ‘kelebihan’ Max tapi dari ciri-ciri dan tingkah lakunya saya menduga Max memiliki beberapa ciri-ciri dari Asperger’s Syndrome.
Pertanyaan warna permen apa yangakan dibeli terasa sangat menyulitkan bagi Max.
Is red better than yellow?
Is green better than blue?
Which one is colder?
What does red taste like?
Do different colors taste different?
Max diam. Bingung. Freezes. Freezes like a popsicle. Dan Budo akan memudahkan Max sambil berbisik di telinga Max.
“Pick blue”
Dan Max akan memilih biru.
Sesimpel itu.
Cover favorit
Walau tak terlihat Budo bisa dibilang satu-satunya teman Max, karena Max susah bergaul dengan teman lainnya. Jangankan teman dan guru, orang tuanya kerap bertengkar perihal Max. Hendak dibawa ke dokterkah? Normalkah ia?
Dan ketika Max menghadapi bullying dari kakak kelasnya yang setaraf preman Budo ada si samping Max untuk membantunya. Tapi bagaimana jika kondisi berubah seperti yang ada di pertengahan buku. Max dalam bahaya. Satu-satunya yang tahu kondisi Max adalah Budo sedangkan Budo hanya bisa dilihat dan didengar oleh Max. Berhasilkah Budo menyelamatkan Max?
Ihiiy, ga seru dong ya kalau saya ceritakan. Silahkan baca sendiri kisah Max dan sahabat sejatinya. Sungguh sayang dilewatkan. Sedih, lucu dan memorable. Selain font tulisannya yang ramah di mata, kisah yang diceritakan melalui Budo sebagai narator memikat saya sedari awal. Cocok dibaca mulai tingkat middle grade sampai uzur grade macam saya. 🙂
Mirip Extremely Loud ga sih?
+ : Penceritaannya menarik sejak awal, kisahnya mudah diikuti, Budo dan Max sangat loveable begitu juga dengan karakter pendukungnya.
– : Tokoh antagonisnya kurang jahat dan minus terbesarnya ini cerita kan ceritanya jaman sekarang, kenapa orang tua dan guru Max tidak segera membawa Max ke orang yang tepat? Semestinya kebiasaan Max yang di luar batas bisa terdeteksi sejak awal. *bawell ah Mi* *kalo ga ya ga jadi cerita ini kan*
Sekilas mengenai Asperger yang saya kutip dari wikipedia :
Sindrom Asperger / Asperger syndrome / Asperger’s syndrome /Asperger’s disorder adalah salah satu gejala autisme di mana para penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kurang begitu diterima. Sindrom ini ditemukan oleh Hans Asperger pada tahun 1944.
Dengan beberapa ciri sebagai berikut :
Gangguan keterampilan sosial. Anak-anak dengan Asperger’s syndrome pada umumnya kesulitan berinteraksi dengan orang lain dan seringkali kaku dalam situasi sosial. Pada umumnya mereka sulit berteman.
Perilahu eksentrik atau kebiasaan yang berulang-ulang. Anak-anak dengan kondisi ini kemungkinan melakukan gerakan yang berulang-ulang, seperti meremas-remas atau memutar jari tangan.
Kesulitan komunikasi. Orang-orang dengan Asperger’s syndrome kemungkinan tidak melakukan kontak mata saat berbicara dengan seseorang. Mereka mungkin bermasalah menggunakan ekspresi dan gerak tubuh serta kesulitan memahami bahasa tubuh. Selain itu, mereka cenderung bermasalah memahami bahasa dalam konteks.
Keterbatasan ketertarikan. Anak dengan Asperger’s syndrome kemungkinan memiliki ketertarikan yang intens bahkan terobsesi terhadap beberapa bidang, seperti jadwal olahraga, cuaca atau peta.
Masalah koordinasi. Gerakan anak dengan Asperger’s syndrome kelihatan ceroboh dan kaku.
Ciri-ciri yang hampir semua tampak pada Max Delaney. Dan tak hanya Matthew Green yang mengangkat topik Asperger dalam novelnya. Masih ada beberapa yang cukup terkenal seperti : The Curious Incident of the Dog in the Night-time karangan Mark Haddon, House Rules karangan Jodi Picoult.
Penggemar film pasti ingat dengan akting Dustin Hoffman sebagai Babbit di film Rain Man dan film favorit saya Max and Mary. Max di film animasi stop motion yang memenangkan banyak penghargaan juga mengidap Asperger. Bagi yang belum tonton film ini wajib tonton! Beneran, percaya deh apa yang dikatakan Mia. 🙂 Terakhir nih, para penggemar serial drama keluarga pasti familiar dengan tantrumnya si Max kan? Nooh, sama nama, sama-sama Asperger. Terus terang Max inilah yang mengingatkan saya dengan Max di buku. Aduh bingung ga sih. Ya sudah deh ga pake ba bi bu lagi, buku ini wajib dibaca, apalagi pengarangnya ternyata ramah pisaaan. Tweet saya dibalas looh! *terharu* Jadi ada kemungkinan saya bakal mereview buku ini lagi dengan bahasa Inggris saya yang acak adul.
Sekilas mengenai pengarang : Matthew Green, MoaIF adalah buku ketiganya, buku sebelumnya adalah Something Missing dan Unexpectedly, Milo. Sebelumnya beliau rajin menulis essay, poetry dan jurnal. Biodata lengkapnya bisa dilihat sendiri di goodreads ataupun mampir ke situs pribadinya. Bisa dibilang biodata Matthew Green di Goodreads adalah biodata terpanjang dan paling ‘terbuka’. Kelihatan banget kalau orangnya ramah dan tidak sombong, pasti rajin menabung #eh. Duh gini deh kelamaan ga buat review dan sekarang di Bali sudah hampir lewat tengah malam, saya bobo cantik dulu ya teman-teman. Selamat berburu buku Memoirs of an Imaginary Friend. Mau pinjam punya saya juga boleh, tapi antri ya 😀
Di mata Junot, Tara adalah a miracle. Namun di mata Tora, Tara tidak lebih dari seseorang yang dapat digunakan dan ditinggalkan kapan pun dia mau. Tora telah menghancurkan sekaligus menguasai hidup Tara. Lalu kehidupan Tara yang abnormal pun dimulai. Dia mengorbankan Junot, manusia yang paling dicintainya di muka bumi ini. Ada yang bilang dia sakit jiwa, tapi hanya Tara yang tahu dia hampir menjadi pembunuh.
Sekarang tidak hanya Tara yang terlibat, tapi ada Alexander yang rela mengorbankan hidupnya yang cemerlang untuk menghitam di penjara karena Tara. Ada Junot, laki-laki yang rela menderita untuk mematri serbuk bintang di matanya. Ada Tora, manusia yang menjadi target bahwa Tara hanya akan bernapas untuk melihatnya mati. Juga Muli, sahabatnya sewaktu kuliah yang menyimpan rahasia terbesar dalam hidup Junot.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Tara? Mengapa kisah cintanya bagaikan benang kusut? Mengapa dia begitu berambisi untuk membunuh Tora?
Daisyflo
Dan di bawah ini saya comot dari blog penulis yang akan memperjelas hubungan Tara dengan 3 pria : Tora, Junot dan Alexander
Sebagai Tara,
aku ingin sekali membunuh Tora, sebab dia adalah b4jingan.
aku ingin sekali mengejar Junot, sebab aku selalu mencintainya.
aku ingin sekali mengatakan pada Alexander untuk berhentilah melukis duniaku, sebab aku tak lagi layak.
Aku ingin sekali,
kembali pada masa dimana bunga daisy mekar sehari lebih lama dari biasanya.
~ Daisyflo, Yennie Hardiwidjaja.
*speechless*
Couldn’t put the book down until the last page. Jarang saya menemukan buku macam begini yang memutarbalikkan emosi dan bagian menjelang ending sukses menitikkan air mata. Cinta, ah, tak cukup kata untuk melukiskan makna kekuatan cinta seseorang.
Daisyflo dibuka dengan kejadian tanggal 22 April 2011, malam eksekusi. Hari di mana Tara menunggu detik-detik kedatangan Tora, saat mendebarkan yang siap menjadikan Tara seorang pembunuh. Tara tidak tahan lagi, malam ini Tora harus mati!
Wets! Tumben-tumbenan nih pembuka alur yang tidak biasa, tapi yang begini ini yang membuat saya penasaran. Emang siapa Tara? Tora apalagi? Heboh amat sampai niat ngebunuh. *wah, ini memang bukan Metropop biasa nih*
Ada lagi Alexander, pria yang sekarang dekat dengan Tara. Ia sudah curiga dengan perilaku Tara yang mengintai kantor tempat Tora bekerja, Tara yang sibuk dengan olahraga berat yang membuat tubuhnya berotot dan yang terakhir ia bahkan memotong rambutnya. Siapa sangka Tara akhirnya benar-benar mewujudkan niatan untuk membunuh Tora.
Alexander memacu mobil. Tak ada waktu lagi. Dia takkan membiarkan Tara membunuh Tora. Gadis itu sudah cukup sakit. Apa jadinya dia kalau sampai dipenjara?
Belum selesai penasaran kita, cerita bergulir flash back. Tahun 2008. Saat di mana Tara masih ceria walau sudah sedikit terkontaminasi dengan perilaku Tora yang menyebalkan. Tora masuk dalam kategori good looking guy, berwibawa, alis lebat, hidung mancung, rajin basket. Di sisi lain ia adalah tipe pengekang posesif yang menyebalkan, belum lagi gengsi tinggi padahal modal dengkul, wong hampir semua biaya hidupnya ditanggung Tara. Iiissh kalau saya jadi Tara baru pacaran 2 bulan sudah pasti saya depak pria macam begini! Gemes sendiri dibuatnya, bolak balik pas baca saya seakan pengen ngejambak rambut Tora! Apalagi kerap kali dia mengakhiri pertengkaran dengan kalimat, ” Aku cuma mau jaga kamu. Kamu cewek yang harus dilindungi.” Atau “Kamu sudah aku anggap kayak istri sendiri. Kenapa kamu nggak jadi istri yang baik saja sih?” Errh, plis deh Tora.
Adalah Junot, kakak kelas Tara yang pendiam, misterius dan sederhana. Selain jago kumputer ia juga pintar piano dan super baik! Padahal awalnya Junot dan Tara lebih dulu saling mengenal dan menyukai satu dengan yang lain, tapi Tara keburu silau dengan Tora. Dan misteri cinta mulai mempermainkan hidup Tara, Tora dan Junot. Tora adalah mimpi buruk Tara. Tara adalah mimpi buruk Junot.
Kenapa Tara tidak langsung saja memutuskan Tora? Kenapa ia masih bertahan? Bagaimana kelanjutan cinta Junot kepada Tara? Apakah arti bunga daisy yang ada di sampul buku? Silahkan baca sendiri, ingat bawa tissue dan siapkan emosi anda untuk Daisyflo.
Cinta tidak seharusnya dimulai dari keinginan seseorang demi mencapai kebahagiaan, tetapi keinginan untuk tetap bahagia walau dia nggak bisa berubah.
Alur flash back dan misteri yang terungkap perlahan membuat saya agak ragu meneruskan review Daisyflo tanpa menebar spoiler di mana-mana. Konflik satu berlanjut dengan konflik lainnya sehingga novel ini habis dalam satu kali duduk. Tidak seperti Metropop yang merk-merk terkenal bersliweran, Daisyflo mengangkat lebih dari itu. Penjiwaan tokoh! Betapa hati saya ‘lelah’ membaca Daisyflo, ingin hati memeluk Tara dan berkata you are not alone in this world, lady. Dan pria-pria ciptaan Yenni, duh bikin meleleh. Junot dan Alexander terutama.
Junot :
“Dari dulu sampai sekarang kamu adalah peri. No matter what you are, I won’t let you go anymore, Tara” – hal 131.
“Tara, knowing you is a gift. Holding you now is a miracle”- hal 150
Aaaaak.
Dan endingnya duh endingnya >.<
Cuma satu pesan saya baca deh buku ini, ga bakal nyesel! Apalagi ketika mengetahui ilustrasi bunga daisynya Junot. *meleleeeh*
Total opinion :
+ : karakter novel yang melekat bahkan sampai selesai membacanya, alur flash back yang membuat pembaca semakin penasaran, twist endingnya pas.
– : terus terang awalnya saya membeli buku ini karena twit dari Mbak @Hetih karena sampulnya kurang catchy, nama karakternya kurang pas tapi mau tak mau membayangkan Junot mirip dengan Herjunot jadi it’s not that bad afterall ;p
4/5.
Detail buku :
Judul : Daisyflo
Penulis : Yennie Hardiwidjaya
256 halaman, Gramedia, cetakan I, Maret 2012.
daisy flower
Bunga daisy : manis, simpel persis seperti Tara. Ia tidak seharum melati dan tidak seanggun mawar. Menurut theflowerexpert.com, A Daisy symbolizes innocence and purity. It can also symbolize new beginnings. The flower meaning of daisy is “loyal love”and “I will never tell”.
Daisyflo adalah novel ke14 dari Yenni Hardiwidjaya, di blognya akan anda temui bagaimana behind the scene Daisyflo dan keseharian dari seorang Yenni. Ditunggu novel berikutnya ya 🙂
You know you’ve read a good book when you turn the last page and feel a little as if you have lost a friend. ~Paul Sweeney
Melinda, tokoh utama Speak karangan Laurie Halse Anderson seakan menjadi teman saya dan sampai sekarang tokohnya yang terasa sangat hidup itu masih ‘menghantui’. Berulang kali saat membaca saya seakan ingin memeluk dan berbicara dengannya. I’m here Melinda, just speak!
Speak
Sebelum nyerocos tak jelas mari kita lihat sinopsis Speak, Melinda Sordino busted an end-of-summer party by calling the cops. Now her old friends won’t talk to her, and people she doesn’t even know hate her from a distance. The safest place to be is alone, inside her own head. But even that’s not safe. Because there’s something she’s trying not to think about, something about the night of the party that, if she let it in, would blow her carefully constructed disguise to smithereens. And then she would have to speak the truth.
Berawal dari kekacauan sebuah pesta dan Melinda menjadi tertuduh perusak acara karena ia menelpon polisi yang berlanjut dengan bubarnya pesta, akibatnya ia dijauhi oleh teman-temannya bahkan lama kelamaan tidak ada yang mau berbicara apalagi berteman dengannya. Apa sebab Melinda menghubungi polisi teman-temannya tidak mau tahu, yang jelas Melinda mengacaukan acara hura hura bergembira mereka.
Hari-harinya sebagai anak baru di SMA sama sekali tidak menyenangkan, temannya hanya satu, pindahan dari Ohio bernama Heather. Padahal teman SMA Melinda rata-rata adalah teman SMPnya dulu yang sekarang membencinya. Tindakan Melinda hanya satu diam. Ia mulai terbiasa tidak bersuara bahkan dengan orang tuanya sendiri. Mengangguk atau menggeleng. Hanya itu saja yang ia lakukan.
Sebagai pembaca saya ikut sedih, kenapa orang tuanya tidak berusaha lebih keras untuk mengetahui ada apa di balik diamnya seorang Melinda dan ketika teman satu-satunya mulai menjauh, nilai sekolahnya merosot kecuali satu, Art. Mr Freeman sebagai guru kesenian menyadari ada sesuatu yang salah dengan Melinda dan sampai akhir cerita ia berperan besar terhadap sikap Melinda yang semakin membaik. Dan tugas Mr Freemanlah yang diangkat menjadi sampul depan buku Speak,awalnya saya tidak mengerti kenapa musti gambar pohon?
Kenapa dengan gambar itu? Apa sih yang terjadi di malam saat pesta? Kenapa Melinda diam? Nah itu jawaban yang harus dibaca sendiri 🙂
Speak amat sayang dilewatkan, kisahnya bisa dibilang berat sekaligus tidak berat. Inspiratif, gelap dan tak terlupakan. Terbukti dengan banyaknya penghargaan yang diperolehnya, memenangkan 8 penghargaan dan belum lagi menjadi 11 finalis book award di antaranya A Publishers Weekly Best Book of the Year, A New York Time Best Beller dan masih banyak lagi.
Speak adalah buku ketiga Lauris Halse yang saya baca selain Wintegirls dan Catalyst. Ciri khasnya masih sama mengambil tokoh remaja putri bermasalah dan masalah itu bisa saja menimpa kita ataupun teman di sekitar kita. A must read book.
Speak telah difilmkan dengan judul yang sama, diperankan oleh ‘Bella’ Kristen Stewart pada tahun 2004. Ada yang punya filmnyakah? Mau pinjam dong 😀
Speak movie poster
Menurut saya Kristen lebih cocok berperan sebagai Melinda dibanding Bella loh! Pas banget mukanya. Yuk diliat trailernya.
Selalu susah mereview buku bintang 5, apalagi untuk buku thriller macam begini takut menyebar spoiler yang jelas-jelas mengganggu kenikmatan membaca, jadi review kali ini saya buat garis besarnya saja ya 🙂
3 tokoh utama yang membuat saya terjaga sampai tengah malam selama 3 hari berturut-turut.
1. The Industrialist.
Henrik Vanger, mantan CEO Vanger Corporation, yang selama puluhan tahun hidupnya tidak tenang karena setiap hari ulang tahunnya mendapat kiriman bunga yang hanya dilakukan oleh ponakan tercinta, Harriet Vanger. Anehnya saat Harriet berusia 16 tahun ia menghilang tanpa jejak namun kiriman bunga tetap berlanjut sampai sekarang. Harriet masih hidup? Atau pembunuh Harriet ingin menyiksa Henrik kiriman bunga misterius itu?
2. The Jornalist.
Adalah Mikael Blomkvist yang ditugaskan Henrik untuk membantu menyelidiki ambisinya tentang penyusutan kembali tragedi hilangnya Harriet. Mikael sendiri mau tak mau menerima tugas ajaib ini karena ia sendiri baru saja dituduh menulis artikel palsu tentang Wennerstrom, seorang pengusaha korup. Demi menyelamatkan perusahaan penerbitan Millenium, Mikael rela tinggal di Hedestad, pemukiman keluarga ‘kerajaan’ Vanger yang dingin dan mulai menyusuri latar belakang dan gerak gerik Vanger bersaudara yang salah satunya diyakini Henrik bertanggung jawab akan hilangnya Harriet. Ternyata memang ada yang aneh dengan kasus Harriet, perlahan namun pasti misteri mulai terkuak dan di sanalah nasib membawa Mikael bertemu dengan Lisbeth Salander.
3. The Girl with the dragon tattoo.
Lisbeth Salander, gadis unik yang menjadi tokoh favorit saya, bayangkan saja perilakunya ajaib, asosial, pengidap Asperger, hacker handal, badannya penuh dengan tindik dan tattoo. Kepiawaiannya dengan data-data mengantar nasibnya berkenalan dengan Mikael dan duet mereka dalam mengupas tragedi Harriet menjadi poros kisah pertama dari serial Millenium.
Oia satu lagi setelah membaca review dari amazon dan goodreads pembaca Millenium series terbagi menjadi 2 kelompok, yang menganggap Stieg Larsson jenius dan ada yang menyebutkan buku ini feminist yang penuh dengan kritik sosial serta adegan yang kasar. Adaptasi filmnya sendiri tidak boleh beredar di Indonesia karena R-Rated (brutal violent content including rape and torture, strong sexuality, graphic nudity, and language).
Tidak untuk pembaca yang tidak tahan dengan kekerasan, saya aja sampai kaget-kaget plus merinding, tapi ya itu dia, if it bleads, it leads! Semakin brutal semakin penasaran saya dengan endingnya, setiap ada satu titik terang pasti berlanjut ke perkara lain yang tambah seru. Pantas saja buku ini menjadi Amazon best book of the month September 2008 : Once you start The Girl with the Dragon Tattoo, there’s no turning back. Ho oh betul banget! Buku yang kaya akan plot, page turner dan akan membius pembaca sampai di akhir buku. And in the end, i want more of Lisbeth Salander!
PS : Buku aslinya yang berbahasa Swedia memiliki judul Män som hatar kvinnor atau Men who hate women. Saya dulu ga ‘nyandak’ kenapa judulnya seperti itu dan saat membacanya baru manggut-manggut setuju. Untung saja judulnya diganti, kalau masih Men who Hate Women sepertinya tidak saya lirik deh :p
Terima kasih kepada secret santa, Melisa *peluk-peluk* Berkat doi saya berhasil membaca buku yang sudah menjadi incaran saya sejak beberapa tahun yang lalu tapi bolak balik gagal terbeli. Memang diniatkan untuk baca tahun ini secara adaptasi Hollywoodnya pemainnya keren-keren. Daniel Craig sebagai Mikael dan Rooney Mara berperan sebagai Salander.
DC and RM
Cantik yaa? Coba bandingkan saat Rooney Mara memerankan Lisbeth beda banget.
Rooney Mara as Lisbeth Salander
PR saya banyak nih setelah membaca The Girl with Dragon Tattoo, bakal beli lanjutannya dan menonton filmnya baik versi Swedia maupun Hollywoodnya. Saya pribadi sih lebih suka penampilan Lisbeth yang versi Amerika lebih terlihat kikuk dan fragile walau kuat di saat yang bersamaan, kalau versi Swedianya kelihatan lebih gahar dan mirip dengan Pink malah :p
Rooney Mara vs Noomi Rapace
Penasaran dengan filmnya? Yuk nonton bareng-bareng 🙂
Sekilas tentang Stieg Larsson yang bernasib tragis, ia meninggal beberapa saat setelah menyerahkan 3 draft Millenium bahkan lanjutannya pun tidak selesai, ah sayang sekali 😦 Ketiga buku Stieg Larsson The Girl with Dragon Tattoo, The Girl who Played with Fire dan The Girl Kicked the Hornets’ Nest menjadi best seller di mana-mana.
Another fave quote :
“I’ve had many enemies over the years. If there’s one thing I’ve learned, it’s never engage in a fight you’re sure to lose. On the other hand, never let anyone who has insulted you get away with it. Bide your time and strike back when you’re in a position of strength—even if you no longer need to strike back.”