Mari masuk ke dunia fantasi ciptaan Vinca Callista, Prutopian. Dunia di mana sihir itu nyata dan di sana tersebutlah seorang gadis rupawan bernama Merphilia Dunsa yang tinggal di hutan terpencil Tirai Banir bersama bibinya Bruzila Bertin. Semenjak kecil Merphilia sudah fasih menggunakan pedang dan berbagai senjata tajam lainnya. Ternyata memang ada maksud tersendiri kenapa Bruzila mengajarkan keahlian pada Merphilia, tak lain karena asal usul Merphilia yang misterius.
Merphilia adalah anak dari ratu Veruna, sang Ratu Merah, pemberontak yang menghancurkan Naraniscala karena ia merasa dikhianati oleh Raja Claresta Ardelazam. Ratu yang memiliki nama asli Veruna adalah Mergogo Dunsa, adalah gadis yang sangat cantik, buktinya pangeran Claresta pun terpikat, sayang keluarganya tidak menyetujui hubungannya karea Mergogo adalah seorang gadis dari khalayak biasa.
Ada harga yang harus dibayar mahal, pemberontakan Ratu Veruna dibayar dengan nyawanya sendiri. Semenjak itu di masyarakat Naraniscala diharamkan menggunakan warna merah. Memang untuk beberapa saat negara itu aman tentram sampai suatu ketika ada yang menghidupkan kembali Veruna dalamtubuh gadis lain, dan mau tak mau Merphilia sebagai keturunan asli yang mampu membasmi Veruna.
Dan dimulailah petualangan seorang gadis desa yang hijrah ke keluarga kerajaan. Kerajaannya sama dengan dunia kita ternyata, ada iri-irian, cemburu dan tentu ada kisah cinta. Nah ini yang menjadi kekuatan utama novel ini di kalangan anak muda tapi tidak untuk saya pribadi. Di sini dikisahkan Dunsa jatuh cinta dengan pangeran Skandar yang tak lain adalah kakak tirinya. Nah ini yang agak mengganggu, walau ada rahasia yang terungkap di akhir kisah namun sikap Merphilia yang senantiasa menempel-nempel bawaannya pengen saya pentung deh.

Untuk ukuran novel fantasi, Dunsa bisa dibilang mampu memuaskan pembaca. Mantra sihir yang terasa eksotis ketika dibaca, silsilah keluarga istana yang lengkap dengan bagan serta peta dunia Prutopian. Terasa sekali novel ini dibuat sungguh-sungguh oleh pengarang. Hanya saja perlu beberapa polesan, karakter yang ada masih terasa mentah. Yang baik, baiik banget dan tokoh jahat itu ditekankan berkali-kali kalau ia jahat. Padahal dengan tindakan saja pembaca sudah bisa menyimpulkan bagaimana karakter si tokoh. Nama tokoh di buku Dunsa hampir semua memiliki arti, saya suka dengan pilihan Vinca, walau terkadang susah dilafalkan 😀
Beberapa kritik saya di bagian awal Reinkarnasi, banyak pengulangan kata ‘nya’dan kata ‘ini’. Kemudian di halaman 2 saat pengarang melukiskan benda misterius yang dibungkus oleh kain beledu hitam. Paragraf selanjutnya kembali diulang : Sejak tadi benda tersebut tidak mau diam, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kain beledu hitam yang selama ini membungkusnya. Sepertinya lebih bagus jika tidak usah dipertegas lagi, kalau menurut saya.
Bicara soal mantra, mau tak mau saya membandingkan dengan Harry Potter, nuansa magisnya dapat tapi bedanya mudah diingat. Sama seperti Accio! Atau Lumos! Sejalan dengan waktu saat membaca akan tahu kalau mantra Lumos dirapal ketika penyihir sedang berada di tempat yang gelap. Dan ya elaah baru tahu kalau mantra ala Vinca ini mantra pembalikan kata-kata, jiahahah. Pantesan mantranya aneh :p
Dunsa
Pengarang: Vinca Callista
Editor: Jia Effendie
Atria, cetakan I, November 2011, 441 halaman