Uncategorized

41 books in 2014

Selamat pagi dari hari terakhir 2014!

pic taken from thegunnysack.com
pic taken from thegunnysack.com

Ah well, saya tahun ini tidak tertarik membuat postingan top 5 books, top 5 boyfriend karena saya tidak butuh boyfriend lagi butuhnya suami.

Ahem, jadinya saya hanya akan memberikan laporan my year in books berdasar data yang ada di goodreads. 41 buku dari 40 yang saya baca, yah lumayanlah.

completed
completed

Buku paling tebal : The Child Thief (2 bintang)

Sejujurnya bacaan tahun lalu lebih berkualitas dari tahun ini, ada perubahan minat baca dari tahun-tahun sebelumnya saya tidak lagi membaca banyak young adult, sangat sedikit membaca fantasi sepertinya hanya The Child Thief dan The Ocean at The End of the Lane, kemudian tidak berhasil menyelesaikan A Feast of  for Crows, moga-moga tahun depan bisa terlaksana. Satu hal lagi yang berkesan di 2014, saya menjadi fans Gillian Flynn sejak melalap habis Sharp Objects dan Dark Places, entah ketagihan entah ikutan gila :p

Oh ya satu lagi saya membaca 2 buku rating tinggi di goodreads yang sayangnya saya hanya memberikan satu bintang. Entah apa yang salah tapi saya sangat bosan membaca Sister – Rosamund Lupton dan The SIlver Lining Playbook karya Matthew Quick.

RC yang coba saya ikuti tahun ini melalui Astrid juga gagal total. Sigh.

Beberapa buku favorit 2014 :

– The Cuckoo’s Calling – Robert Galbraith

– The One and Only Ivan – Kattherine Applegate

– The Solitude of Prime Number – Paolo Giordano

– Happily Ever AFter – Winna Efendi

Untuk tahun depan bagaimana? KIta lihat saja nanti tergantung kesibukan cicik barbi *wink*

Selamat tahun baru! Cheers to life 🙂

2014 · thriller

Dark Places – Gillian Flynn

Well, well, well, seperti biasa buku bagus selalu bikin kerepotan tersendiri saat mereviewnya >.<

Berkat ajakan Alvina, sesama penggemar buku sakit jiwa yang sama-sama terkesima dengan Gone Girl dan Sharp Objects ditambah Marina, Mb Iyut dan Ayu kami serempak membaca bareng buku kedua karangan Gillian Flynn ini.

Dark Places
Dark Places

Setelah berurusan dengan silet dan pencabutan gigi anak-anak, rupanya Gillian ingin mengeksplorasi benda-benda tajam lainnya, kapak salah satunya. Dark Places dimulai dengan narasi seorang gadis berusia 30an bernama Libby Day.

I have a meannes inside me, real as an organ. Slit me at my belly and it might slide out, meaty and dark, drop on the floor so you could stomp on it. It’s the Day blood. Something’s wrong with it. I was never a good little girl, and I got worse after the murder.

Memang bukan Gillian kalau tidak bisa memikat pembaca dari paragraf pertama.

I was not a lovable child, and I’d grown into a deeply unlovable adult. Draw a picture of my soul, and it’d be a scribble with fangs.

Yeah, masa depan apa yang diharapkan dari seorang anak kecil yang selamat dari pembantaian keluarganya?

My brother slaughtered my family when I was seven. My mom, two sisters, gone: bang bang, chop chop, choke choke.

Dengan alur cerita maju mundur dan deskripsi yang begitu mendetil, Dark Places bukan bacaan untuk semua orang, saya bahkan sempat berhenti beberapa kali gegara mual.

Ibu mati tertembak. Saudaranya dicekik dan dibantai dengan kapak. Darah. Simbol setan di dinding. Nightmare banget deh hidup si Libby, ia selamat gegara ia bersembunyi di rerumputan dan tersangka utama dari pembantaian keluarganya tak lain tak bukan adalah kakak lelakinya, Ben Day.

Permasalahannya sekarang, benarkan Ben yang selama ini di penjara berkat kesaksian Libby benar membantai keluarganya? Dihimpit keadaan keuangan yang memprihatinkan Libby kembali mengorek kenangan masa lalunya; I’ve labeled the memories as if they were a particularly dangerous region: Darkplace. Demi tidur nyenyak, demi Ben dan demi dirinya sendiri, Libby menyelidiki dan mengumpulkan serpihan-serpihan memorinya yang gelap. Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?

Dark Places
Dark Places

Dark Places dikisahkan melalui 3 POV. Libby Day, Ben Day dan ibu mereka Patty Day. Itu salah satu poin lebih dari Dark Places dan itu juga yang menyelamatkan saya dari alurnya yang cukup lambat. Libby Day di saat sekarang, Ben dan Patty bergantian pada tanggal terjadinya tragedi pembantaian. Bahkan di saat menulis review ini, saya masih merasakan gaung dan kegelisahan Patty, seorang orang tua tunggal yang ditinggal oleh suami pemabuk yang entah ada di mana, masalah perkebunannya yang tak kunjung selesai malah semakin dijerat hutang, anak-anak perempuannya yang berisik seakan tidak pernah memberikannya saat-saat santai dan satu lagi yang menjadi beban pikirannya, Ben, anak laki-laki satunya yang semakin hari bertingkah semakin aneh saja. Ditambah lagi dengan isu yang beredar bahwa Ben melakukan pelecehan seksual kepada beberapa anak di bawah umur.

Ben. Ah malang benar nasibmu. Berkat POVnya saya seakan mengenal Ben, dengan segala kerikuhannya sebagai seorang lelaki.

He wanted to be a useful man,but he wasn’t sure how to make that happen. – 57

Ben yang berusaha menjadi remaja normal tetap saja menjadi korban bully di sekolahnya.

He kept his head down between classes and still some jock would slap him in the head, Hey Shitshorts! He’d just keep walking, his face in this grim smile, like he was pretending to be on the joke – 97

Terus terang saya paling menanti-nanti POV Ben, karena dengan pikirannya yang gelap dan liar terlebih lagi saat ia berkenalan dengan Diondra, gadis yang luar biasa binal, saya semakin dibuat penasaran, apakah ia yang membunuh keluarganya?

Bukan Gillian namanya kalau tidak menciptakan karakter perempuan ‘sakit’. Dalam satu wawancaranya tentang dark Places ia menjawab : in Dark Places, I started out thinking I would have a much different protagonist. I was determined to make her much lighter than Camille had been. I’d written a pretty solid first draft for a character that was very kind of optimistic and healthy. And she’s suffered this awful murder of her family in her childhood, but had recovered and was pretty stable. It was just awful. She didn’t work at all. I kind of tossed it out and had to start again. I went back and it became darker…and darker. And it started with the germ of that idea: What happens to these people who are the survivors of true crime? These people who are famous for the horrible, horrible things that happen to them? Ten years later, where are they? And just from growing up on the Kansas border, I was very familiar with In Cold Blood. So starting with that, dead bodies in a farmhouse in Kansas, and what happened, was a little bit of a nod to Truman Capote.

Dengan twisted ending seperti Sharp Objects dan terlebih lagi Gone Girl, begini pula reaksinya saat ditanya mengenai ending Dark Places : And then Dark Places, I actually went away to write the final scene where the family is actually murdered, where you finally figure out what happened in the flashbacks where the mom and the two girls are killed. I went to a friend’s break house, just by myself, to write this scene. I would be pretty much finished with the book. So I was up there. I’d bought a bottle of champagne I was going to open up and celebrate when I was done, you know, woo hoo! Finished the book! I tell you what, I finished writing that scene and just burst into tears. It felt so author-y and silly, but you become very attached to these characters. And I finally had to murder them and kill them off. I was just beside myself for most of the evening and into the next day.

Sepertinya review saya sudah cukup panjang dan mudah-mudahan sudah mampu menebar virus Gillian Flynn di kalangan teman-teman pembaca *wink* Jangan lupa, filmnya akan tayang beberapa bulan lagi, yuk dibaca sebelum filmnya tayang. Charlize Theron akan berperan sebagai Libby dan ada Christina Hendricks juga lho, kalau saya sih penasaran dengan akting Chloe Grace Moretz yang akan berperan sebagai Diondra.

4 dari 5 bintang untuk Dark Places dan tuntas sudah marathon buku-buku karangan Gillian Flynn. Saatnya membaca yang ringan-ringan dulu untuk melaraskan otak. Cheers!

 

 

2014 · thriller

Sharp Objects – Gillian Flynn

Reading is a ticket to everywhere, begitu kata Mary Schmich.

Tak hanya tempat, tapi juga suasana, bau-bauan seakan ikut merasuk masuk ke dalam dunia ciptaan pengarang.

Lembab, mual, lengket, gelap.

Sharp Objects
Sharp Objects

Semua sensasi di atas menghantui saya saat membaca Sharp objects, buku debut Gillian Flynn. Dengan tema yang berbeda jauh dengan Gone Girl namun memiliki benang merah yang sama perempuan sakit jiwa, Gillian kali ini mengangkat kisah seorang reporter Chicago Post bernama Camille Preaker yang menyelidiki kasus tewasnya dua anak kecil dengan cara mengenaskan di kota kelahirannya yang sudah ia tinggalkan sejak 8 tahun lalu.

Mau tidak mau Camille kembali ke Wind Gap, kota kecil yang suram, gelap dan tak hanya itu Camille juga akhirnya kembali berurusan dengan masa lalunya yang tak kalah suram. Bagaimana tidak, ia memiliki seorang ibu yang dingin dan sinis, Camille bisa dibilang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Ibunya seakan lebih mencintai Marian, adiknya yang meninggal saat Camille berusia 13 tahun.

“It’s impossible to compete with the dead. I wished I could stop trying.”

Dibayang-bayangi oleh kematian Marian, Camille semakin menarik diri dan melampiaskan depresinya dengan cara menorehkan kata-kata di tubuhnya dengan benda tajam.

“I am a cutter, you see. Also a snipper, a slicer, a carver, a jabber. I am a very special case. I have a purpose. My skin, you see, screams. It’s covered with words – cook, cupcake, kitty, curls – as if a knife-wielding first-grader learned to write on my flesh. I sometimes, but only sometimes, laugh. Getting out of the bath and seeing, out of the corner of my eye, down the side of a leg: babydoll. Pull on a sweater and, in a flash of my wrist: harmful. Why these words? Thousands of hours of therapy have yielded a few ideas from the good doctors. They are often feminine, in a Dick and Jane, pink vs. puppy dog tails sort of way. Or they’re flat-out negative. Number of synonyms for anxious carved in my skin: eleven. The one thing I know for sure is that at the time, it was crucial to see these letters on me, and not just see them, but feel them. Burning on my left hip: petticoat.

Sharp Objects
Sharp Objects

*ngilu*

Tak hanya Camille yang menderita siksaan mental akibat sifat ibunya. Amma, adik tirinya yang menginjak remaja pun juga memiliki kelakuan tak kalah ajaib, terkadang meledak-ledak, di lain waktu bisa bersikap sangat binal.

“I wish I’d be murdered.”

“Amma, don’t say such a thing,” my mother said, blanching.

“Then I’d never have to worry again. When you die, you become perfect. I’d be like Princess Diana. Everyone loves here now.”

😐

*ketipketipketip*

Banyak banget wow momen saat saya membaca Sharp Objects ini, gelap dan menghantui. Duh untung saya ga nyimpen silet di rumah #heh. Yang jelas walau celekit-celekit bacanya saya sangat menikmati membaca buku ini, penasaran bagaimana Camille mencari siapa pembunuh anak-anak di Wind Gap dan apa pula motif pembunuh mencabut semua gigi anak tersebut? Dan satu lagi apakah Camille berhasil menaklukkan trauma masa lalunya yang seakan bangkit lagi selama ia berada di Wind Gap?

Sayangnya endingnya terkesan agak buru-buru, twistnya cukup bikin kaget tapi belum separah Gone Girl, namun tetap saja Sharp Objects ini enak untuk dinikmati bagi pecinta thriller. Kabar terbarunya sih buku ini bakal diadaptasi mengikuti Gone Girl dan juga Dark Places.

Gillian Flynn yang menurut The Hollywood Reporter merupakan salah satu most powerful author memang sengaja menuliskan buku bertema thriller dengan wanita-wanita yang ‘sakit’.

Gillian Flynn
Gillian Flynn

Sedikit mengenai pengarang saya ambil dari websitenya :

Libraries are filled with stories on generations of brutal men, trapped in a cycle of aggression. I wanted to write about the violence of women.

So I did. I wrote a dark, dark book. A book with a narrator who drinks too much, screws too much, and has a long history of slicing words into herself. With a mother who’s the definition of toxic, and a thirteen-year-old half-sister with a finely honed bartering system for drugs, sex, control. In a small, disturbed town, in which two little girls are murdered. It’s not a particularly flattering portrait of women, which is fine by me. Isn’t it time to acknowledge the ugly side?

I particularly mourn the lack of female villains — good, potent female villains. Not ill-tempered women who scheme about landing good men and better shoes (as if we had nothing more interesting to war over), not chilly WASP mothers (emotionally distant isn’t necessarily evil), not soapy vixens (merely bitchy doesn’t qualify either). I’m talking violent, wicked women. Scary women. Don’t tell me you don’t know some. The point is, women have spent so many years girl-powering ourselves — to the point of almost parodic encouragement — we’ve left no room to acknowledge our dark side. Dark sides are important. They should be nurtured like nasty black orchids. So Sharp Objects is my creepy little bouquet. – Gillian Flynn-

Lembab, mual, lengket, gelap.

Jadi gimana? Sudah siap membaca Sharp Objects? Siap-siap dihantui oleh penghuni Wind Gap ya?! Saya bukannya kapok, sekarang malah ketagihan novel ala Gillian Flynn, tapi sebelumnya rehat dulu deh :p